Thursday, 5 February 2015

Musyawarah Burung (Part 06)


 Dinda Share-lanjutan Musyawarah Burung part5
43. Lembah Keenam, Lembah Keheranan dan Kebingungan
Setelah Lembah Keesaan menyusul Lembah Keheranan dan Kebingungan, di mana kita menjadi mangsa duka dan kesedihan. Di sana keluhan bagai pedang, dan setiap nafas ialah keluhan pedih; di sana, adalah duka dan ratapan, dan kerinduan yang menyala. Siang dan malam pun serempak. Di sana, adalah api, namun kita merasa tertekan dan tak berpengharapan. Betapakah, dalam kebingungan ini, kita akan meneruskan perjalanan? 

Tetapi bagi yang telah mencapai keesaan, ia pun lupa akan segalanya dan lupa akan dirinya sendiri. Jika ia ditanya, "Adakah kau, atau tak adakah kau? Apakah kau merasa ada atau tidak? Apakah kau ada di tengah atau di tepi? Apakah kau fana atau kekal?" maka ia akan menjawab dengan kepastian, "Aku tak tahu apa-apa, aku tak mengerti apa-apa. Aku tak sadar akan diriku sendiri. Aku sedang dalam bercinta, tetapi dengan siapa, tak tahu aku. Hatiku penuh dan sekaligus juga hampa cinta."

Puteri yang Mencintai Hambanya
Seorang raja, dengan kerajaannya yang membentang hingga ke ufuk-ufuk jauh, mempunyai seorang puteri secantik bulan. Di hadapan kecantikannya, bahkan peri-peri pun merasa malu. Dagunya yang berlekuk serupa dengan sumur Yusuf,1 dan ikal rambutnya melukai seratus hati. Kedua alisnya busur kembar. Dan bila dilepaskannya panah-panah dari busur itu, ruang di antaranya pun menyanyikan pujian-pujian untuknya. Matanya, yang sayu bagai kembang narsis, melemparkan duri-duri bulu matanya di jalan para arif. Wajahnya bagai matahari ketika menggantikan keperawanan bulan. Malaikat Jibril tak dapat mengalihkan matanya dari mutiara-mutiara dan manikam-manikam mulutnya. Senyum bibirnya mengeringkan air hayat yang memandangnya, yang masih mengemis sedekah dari bibir itu juga. Siapa memandang dagunya akan jatuh terjungkir ke sumber air yang berbuih-buih.
Raja itu juga mempunyai seorang hamba, orang muda yang begitu tampan sehingga matahari pun menjadi pucat dan cahaya bulan suram. Bila orang muda itu berjalan di jalan-jalan dan di pasar, orang banyak pun berhenti hendak memandangnya.

Kebetulan pada suatu hari puteri raja melihat hamba itu, dan segera ia pun jatuh hati. Pikiran hilang dan cinta pun menguasainya. Menarik diri dari kawan-kawannya, puteri itu merenung-renung. Dan dengan merenung-renung dan membayangkan, ia mulai terbakar cinta. Maka dipanggilnya kesepuluh dayang kehormatannya yang muda-muda. Mereka pemusik-pemusik ulung, pemain alat-alat tiup dan seruling; suara mereka seperti suara bulbul, dan nyanyian mereka, yang mencabik-cabik jiwa, sebanding dengan nyanyian Daud. Setelah menyuruh mereka berkumpul di sekelilingnya, ia pun menceritakan keadaan dirinya dengan mengatakan bahwa ia bersedia mengorbankan nama, kemuliaan dan hidupnya demi cintanya terhadap orang muda itu: sebab bila orang begitu tenggelam dalam cinta, ia canggung bagi hal-hal yang lain. "Tetapi," katanya, "bila kukatakan padanya tentang cintaku, tak sangsi lagi dia akan melakukan sesuatu yang kurang pikir. Jika diketahui orang bahwa aku telah bermesraan dengan seorang hamba, maka dia maupun aku tentu akan menderita. Sebaliknya, bila ia tak memiliki aku, aku akan mati merana di balik tirai sanastri. Aku telah membaca seratus buku tentang kesabaran, namun aku tetap tak memiliki kesabaran itu. Apa dayaku! Aku harus mendapatkan jalan untuk menikmati cinta dari pohon saru yang lampai ini, sehingga gairah jasmaniku akan sejalan dengan kerinduan jiwaku - dan ini harus dilakukan tanpa setahu dia."

Kemudian dayang-dayang yang bersuara merdu itu berkata, "Janganlah Tuanku Puteri bersedih. Malam nanti kami akan membawa dia ke mari tanpa setahu siapa pun, bahkan dia sendiri tak akan tahu sedikit pun tentang itu."

Segera salah seorang gadis remaja itu pergi dengan diam-diam mendapatkan hamba itu, dan seperti bermain-main, dimintanya hamba itu membawa dua piala anggur. Ke dalam salah satu piala itu dimasukkannya obat, sambil dicari-carinya akal agar hamba itu mau meminumnya. Segera hamba itu pun tertidur, sehingga si dayang dapat melaksanakan rencananya, dan orang muda yang berdada perak itu tetap tak kabarkan dirinya.

Ketika malam tiba, dayang-dayang kehormatan itu datang mengendap-endap ke tempat si hamba terbaring, lalu menaruh orang itu di atas tandu dan membawanya ke tempat tuan puteri. Kemudian mereka dudukkan hamba itu di atas singgasana kencana dan mereka kenakan rangkaian mutiara di kepalanya. Pada tengah malam, masih sedikit terbius oleh obat itu, si hamba membuka mata dan melihat istana seindah surga, sedang di sekelilingnya tempat-tempat duduk dari kencana. Tempat itu diterangi dengan sepuluh lilin besar yang diberi wangian damar-harum, sedang kayu cendana yang semerbak terbakar dalam bejana-bejana. Dara-dara itu mulai menyanyi dengan lagu-lagu yang demikian merdu sehingga pikiran seakan mengucapkan selamat tinggal pada jiwa, dan jiwa pada raga. Kemudian matahari anggur pun berputar-putar sekeliling nyala lilin-lilin itu. Bingung karena kegembiraan di seputarnya dan silau karena kecantikan puteri raja, orang muda itu kehilangan kesadarannya. Ia benar-benar tidak lagi ada di atas dunia ini dan tidak pula di dunia lain. Dengan hati penuh cinta, dan raga dikuasai gairah damba, di tengah segala keriangan ini ia pun tenggelam dalam haru-gembira. Matanya terpancang pada kecantikan puteri raja itu dan telinganya pada bunyi seruling-seruling bambu. Lubang hidungnya menghirup wangian damar harum, dan anggur di mulutnya menjadi serupa api cair. Puteri raja itu menciumnya, dan si hamba mengucurkan air mata kegirangan, sementara sang puteri menyatukan airmatanya dengan air mata hamba itu. 

Kadang sang puteri menekankan ciuman manis di mulut si hamba, kadang ciuman itu dibumbui rasa garam; kadang sang puteri mengusutmasaikan rambut si hamba yang panjang itu, kadang kehilangan dirinya sendiri di mata si hamba. Hamba itu memiliki sang puteri; dan demikianlah mereka lewatkan waktu itu hingga fajar terbit di Timur. Ketika sepoi pagi berembus, hamba muda itu merasa sedih, tetapi mereka buat lagi dia tidur lalu mereka bawa kembali ke tempat kawan-kawannya.

Ketika dia yang berdada perak itu sadar, tanpa tahu kenapa, dia pun menangis. Orang boleh mengatakan bahwa peristiwa itu sudah selesai, maka apa gunanya diratapi. Hamba itu merobek-robek pakaiannya, menarik-narik rambutnya dan mengotori kepalanya dengan tanah. Mereka yang ada di sekelilingnya menanyakan kenapa ia berbuat demikian, dan apa yang telah terjadi. Kata hamba itu, "Tak mungkin menggambarkan apa yang telah kulihat, tiada orang lain yang mungkin pernah melihatnya kecuali dalam mimpi, karena apa yang telah terjadi padaku tak mungkin pernah terjadi pada siapa pun sebelumnya. Tiada lagi rahasia yang lebih menakjubkan."

Seorang kawannya berkata, "Bangunlah dan ceritakan pada kami setidak-tidaknya satu dari seratus peristiwa yang terjadi itu." Jawab si hamba, "Aku bingung sebab apa yang kulihat itu kualami dengan tubuh lain. Selagi tak mendengar apa-apa, aku mendengar segalanya; selagi tak melihat apa-apa, aku melihat segalanya."

Yang lain berkata, "Adakah kau telah kehilangan kesadaranmu atau adakah kau telah bermimpi?" "Ah," kata hamba itu, "aku tak tahu apakah aku mabuk atau sadar ketika itu. Apakah lagi yang lebih membingungkan daripada sesuatu yang tak tersingkap dan juga tak tersembunyi. Apa yang telah kulihat itu tak mungkin akan kulupakan, namun aku tak dapat membayangkan di mana peristiwa itu terjadi. Selama semalam suntuk aku bersuka-suka dengan seorang puteri jelita yang tiada bandingnya. Siapa dan apakah sebenarnya dia itu, aku tak tahu. Hanya cinta yang tinggal, itu saja. Tetapi Tuhan mengetahui yang sebenarnya."

Si Ibu dan Anaknya Perempuan yang Meninggal
Seorang yang sedang lewat, yang melihat seorang ibu sedang menangisi kubur anaknya perempuan, berkata, "Wanita ini lebih unggul daripada kami laki-laki, sebab ia tahu siapa yang telah hilang daripadanya dan dengan siapa dia telah berpisah. Beruntunglah perempuan, atau laki-laki, yang tahu siapa yang telah hilang daripadanya, dan siapa yang dia tangisi. Akan halnya diriku, meskipun aku duduk meratap dan airmataku mengucur bagai hujan, namun aku tak tahu siapa yang kutangisi. Perempuan ini menggondol bola keunggulan dari ribuan orang macam aku ini, sebab ia telah menemukan wangian makhluk yang telah hilang daripadanya."

Kunci yang Hilang
Seorang Sufi mendengar orang berseru, "Adakah yang menemukan kunci? Pintuku terkunci dan aku berdiri di debu jalanan. Bila pintuku tinggal tertutup, apa yang mesti kulakukan?"
Sufi itu berkata padanya, "Mengapa kau risau? Karena pintu itu pintumu, tinggal saja di dekatnya, meskipun tertutup. Bila kau punya kesabaran untuk menunggu cukup lama tentulah seseorang akan membukakan pintu itu bagimu. Keadaanmu lebih baik dari keadaanku, sebab aku tak punya pintu maupun kunci. Doakan saja pada Tuhan semoga aku dapat menemukan pintu, yang terbuka ataupun tertutup.

Orang selalu hidup dalam angan-angan, dalam mimpi; tiada yang melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Kepada dia yang mengatakan padamu, "Apa yang mesti kulakukan?" katakanlah padanya, "Jangan lakukan apa yang sudah biasa kau lakukan selama ini; jangan berbuat apa yang sudah biasa kau perbuat selama ini." 

Ia yang memasuki Lembah Keheranan ini cukup sedih memikirkan seratus dunia. Bagi diriku, aku bingung dan tersesat. Ke mana aku akan melangkah? Doakan pada Tuhan semoga aku tahu! Tetapi ingat, ratapan insan akan menurunkan kerahiman.

Murid yang Melihat Gurunya dalam Mimpi
Seorang murid pada suatu malam melihat almarhum gurunya dalam mimpi dan berkata padanya, "Macam mana kiranya keadaan di tempat Tuan berada sekarang? Sepeninggal Tuan, murid Tuan ini telah terjerat dalam kebingungan dan merana karena duka."
Sang guru menjawab, "Aku dalam keheranan sedemikian rupa sehingga aku hanya dapat menggigit punggung tanganku. Aku ada dalam lubang penjara, diam tercengang-cengang; dan aku lebih merasa terkejut daripada yang pernah kualami dalam hidup."

Catatan kaki:
1 Lekuk dagu sering dikiaskan dengan sumur atau mata air.


44. Lembah Ketujuh atau Lembah Keterampasan dan Kematian
Hudhud melanjutkan, "Terakhir dari semua itu menyusul Lembah Keterampasan dan Kematian, yang hampir tak mungkin diperikan. Hakikat Lembah ini ialah kelupaan, kebutaan, ketulian dan kebingungan; seratus bayang-bayang yang melingkungimu menghilang dalam sepancar sinar surya samawi. Bila lautan kemaharayaan mulai bergelora, pola pada permukaannya pun kehilangan bentuknya; dan pola ini tak lain dari dunia kini dan dunia nanti. Siapa yang menyatakan bahwa dirinya tak ada mendapat keutamaan besar? Titik air yang menjadi bagian dari lautan raya ini akan tetap tinggal di sana selamanya dan dalam kedamaian. Di laut yang tenang ini, kita pada mulanya hanya akan mengalami kehinaan dan keterbuangan; tetapi setelah terangkat dari keadaan ini, kita akan memahaminya sebagai penciptaan, dan banyak kerahasiaan akan tersingkap bagi kita.

Banyak makhluk telah salah mengambil langkah pertama dan karena itu, tak dapat mengambil langkah kedua --mereka hanya sebanding dengan barang-barang tambang. Bila kayu cendana dan duri-duri menjadi abu, keduanya tampak sama --tetapi mutu keduanya berbeda. Barang najis yang dimasukkan ke dalam air-mawar akan tetap tinggal najis karena sifat-sifat dasarnya semula; tetapi barang suci yang dijatuhkan ke lautan akan kehilangan wujudnya yang tersendiri dan akan menyatukan diri dengan lautan itu dengan segala geraknya. Dengan berhenti ada secara terpisah ia akan mendapatkan keindahannya. Ia ada dan tidak ada. Bagaimana hal ini mungkin terjadi, pikiran tak dapat membayangkannya."

Fatwa Nassir Uddin
Yang terkasih dari Tus, lautan rahasia-rahasia ruhani itu, berkata pada salah seorang muridnya, "Leburkan dirimu dalam api cinta hingga kau menjadi sekecil rambut, maka kau pun akan layak menduduki tempatmu di antara ikal rambut kekasihmu. Bila matamu kau arahkan ke Jalan itu dan bila kau awas, maka renungkanlah dan pikirkanlah, rambut demi rambut.
Ia yang membelakangi dunia ini untuk menempuh Jalan itu, akan mendapatkan kematian; ia yang mendapatkan kematian, akan mendapatkan kebakaan. O hatiku, bila kau telah herubah sepenuhnya, seberangilah jembatan Sirat.1 dan api yang menyala; karena bila minyak dalam lampu itu terbakar, ia akan merupakan asap sehitam gagak tua, tetapi bila minyak itu diserap api, ia akan tak memiliki wujudnya yang kasar lagi.

Bila kau ingin sampai ke tempat yang luhur itu, lebih dulu bebaskan dirimu sendiri; kemudian keluarlah dari ketiadaan bagai Buraq.2 kedua. Kenakan khirka kenihilan dan minumlah dari piala kemusnahan, kemudian kebatlah dadamu dengan ikat pinggang penafsiran dan kenakan di kepalamu kecemerlangan keadaan-tiada. Tempatkan kakimu pada sanggurdi ketakterikatan, dan pacu kudamu yang tak berguna itu ke tempat di mana tak ada apa pun lagi. Tetapi jika dalam dirimu masih tinggal nafsu kepentingan diri biar sedikit, maka ketujuh laut akan penuh kesengsaraan bagimu."

Cerita tentang Kupu-kupu
Suatu malam, kawanan kupu-kupu berkumpul, disiksa hasrat hendak menyatukan diri dengan lilin. Kata mereka, "Kita harus mengutus salah satu dari kita yang akan membawa keterangan pada kita tentang sasaran cinta yang hendak kita cari itu." Maka salah seekor di antaranya berangkat dan tiba di sebuah puri, dan di dalam puri itu ia melihat cahaya sebatang lilin. Ia pun kembali, dan sesuai dengan pengertian yang diperolehnya, ia menceritakan apa yang telah dilihatnya. Tetapi kupu-kupu arif yang mengetuai pertemuan itu menyatakan pendapatnya bahwa utusan itu tak mengerti apa-apa tentang lilin. Maka kupu-kupu lain pun pergi ke sana pula. Ia menyentuh nyala lilin itu dengan ujung sayapnya, tetapi panas pun menghalaukannya. Oleh karena laporannya tak lebih memuaskan dari laporan yang pertama, maka kupu-kupu yang ketiga pun pergi pula. Yang seekor ini, karena dimabuk cinta, melontarkan diri ke dalam nyala lilin itu; dengan kaki depannya ia berpaut pada nyala lilin itu dan menyatukan dirinya dengan senang pada lilin itu. 

Dipeluknya lilin itu sepenuhnya, dan badannya pun menjadi semerah api. Kupu-kupu arif, yang mengawasi dari jauh, melihat bahwa nyala lilin dan kupu-kupu utusan itu tampak satu, dan katanya, "Ia telah dapat mengetahui apa yang ingin diketahuinya; tetapi hanya dia yang tahu, dan tak ada yang dapat menuturkannya."

Seorang Sufi yang Mendapat Perlakuan Buruk
Seorang Sufi tengah berjalan-jalan dengan malas ketika ia dipukul dari belakang. Ia pun menoleh dan mengatakan pada bedebah yang telah memukulnya itu, "Orang yang kau pukul ini sudah mati lebih dari tiga puluh tahun." Si bedebah menjawab, "Bagaimana dapat orang yang sudah mati bicara.? Hendaklah malu, kau tak menunggal dengan Tuhan. Bila kau terpisah biar serambut saja pun dari dia, maka adalah itu seakan kau terpisah sejauh seratus dunia."
Bila kau menjadi abu, termasuk juga barang-barangmu, maka sedikit pun kau tak akan merasa ada; tetapi bila, seperti pada Isa, masih tinggal padamu biar hanya sebatang jarum yang sederhana saja, maka seratus pencuri akan menghadangmu di jalan. Walau Isa telah membuang barang-barang bawaannya, namun jarum itu masih dapat menggores-gores wajahnya.3
Bila ada itu lenyap, tiada kekayaan maupun kerajaan, kehormatan maupun keagungan, akan berarti.

Pangeran dan Pengemis
Adalah suatu ketika seorang raja mempunyai putera yang begitu menawan seperti Yusuf, penuh daya pesona dan keindahan. Putera raja itu dicintai setiap orang, dan semua yang melihatnya maulah rasanya dengan senang menjadi debu di bawah kakinya. Bila ia berjalan malam-malam, adalah seakan matahari baru telah terbit di atas gurun. Matanya bunga narsis hitam, dan bila mata itu memandang, dunia pun menyala karenanya. Senyumnya menebarkan gula, dan di mana saja ia berjalan seribu mawar akan berbunga, tak menunggu musim semi.

Maka adalah seorang darwis biasa yang terpikat hatinya pada pangeran muda ini. Siang dan malam ia duduk dekat istana sang pangeran, tidak makan tidak tidur. Mestinya ia sudah mati, bila tidak sekali-sekali dapat melihat sepintas pangeran muda itu ketika muncul di pasar. Tetapi bagaimana mungkin seorang pangeran yang semulia itu melipur seorang darwis miskin dalam keadaan demikian? Namun orang biasa ini, yang merupakan bayang-bayang, bagian dari sebutir zarrah, ingin mendekap matahari cemerlang itu di dadanya.

Suatu hari ketika pangeran itu sedang dijulang di kepala para abdinya, darwis itu bangkit berdiri dan berseru-seru, mengatakan, "Sudah gila hamba ini, hati hamba teramat sedih, hamba tak sabar dan tak kuat lagi menderita," lalu ia pun memukul-mukulkan kepalanya ke tanah di hadapan sang pangeran. Salah seorang pengawal istana hendak menyuruh bunuh darwis itu, lalu menghadap raja. "Tuanku," katanya, "seorang yang tak waras telah jatuh cinta kepada putera Tuanku."
Raja pun amat murka, "'Hukum si jahanam yang berani mati itu dengan hukum tusuk," katanya. "Ikat tangan dan kakinya, dan pancangkan kepalanya di atas tiang." Orang istana itu pun segera pergi menjalankan perintah raja. Orang-orang pun memasang tali jerat di leher pengemis itu lalu menyeretnya ke tiang. Tak seorang tahu apa yang akan terjadi dan tak seorang pun membela si pengemis. Setelah wazir menyuruh bawa dia ke bawah tiang perantaian, darwis itu pun menjerit sedih dan katanya, "Demi kasih Tuhan, beri hamba pertangguhan, agar setidak-tidaknya hamba dapat mengucapkan doa di bawah tiang perantaian." Ini dikabulkan, dan darwis itu pun bersujud dan berdoa, "O Tuhan, karena raja telah memerintahkan untuk membunuh hamba --hamba yang tak berdosa ini-- maka karuniai hamba, abdi yang bodoh ini, sebelum hamba mati, dengan kemujuran untuk melihat -- biar sekali saja pun --wajah pangeran muda itu, sehingga hamba dapat menyerahkan diri hamba sebagai korban. O, Tuhan, Raja hamba, yang mendengarkan seribu doa, kabulkan permohonan hamba yang terakhir ini."

Begitu darwis itu selesai mengucapkan doa itu maka panah hasratnya pun segera mencapai sasarannya. Wazir pun mengetahui keinginannya yang tersembunyi itu dan menaruh kasihan padanya. Ia pun menghadap raja dan menjelaskan ihwal yang sebenarnya. Mendengar itu raja pun termenung; kemudian perasaan belas kasihan pun memenuhi hatinya, dan ia mengampuni darwis itu, lalu berkata pada sang pangeran, "Pergilah mendapatkan si miskin itu di bawah tiang perantaian. Berlakulah lemah lembut padanya, dan ajak dia minum bersama, karena dia telah mengenyam racunmu. Bawa dia ke tamanmu dan kemudian bawa dia ke mari."

Pangeran muda, Yusuf kedua itu, segera pergi --matahari yang berwajah api itu datang bertemu muka dengan sebuah zarrah. Lautan mutiara-mutiara indah itu pergi mencari setitik air. Pukul-pukullah kepalamu karena gembira, tapakkan kakimu menari, dan bertepuk tanganlah! Tetapi darwis itu ada dalam putus asa; airmatanya membuat debu menjadi lumpur, dan dunia pun menjadi berat karena keluhan-keluhannya. Bahkan pangeran itu sendiri tak dapat menahan tangisnya, Ketika darwis itu melihat airmata sang pangeran, ia berkata, "O Pangeran, kini Tuan boleh mengambil nyawa hamba." Dan setelah berkata demikian, ia menghembuskan nafasnya yang terakhir, mati. Ketika mengetahui bahwa ia telah menjadi satu dengan yang dikasihinya, maka tak ada lagi keinginan-keinginan lain yang tinggal padanya.

O kau, yang ada namun sekaligus juga sesuatu yang tak berarti, dengan kebahagiaanmu yang bercampur dengan kesengsaraanmu, bila kau belum pernah mengalami kegelisahan, bagaimana kau akan menghargai ketenangan? Kau rentangkan tanganmu hendak mencapai kilat tetapi terhalang oleh timbunan salju yang tersapu. Berusahalah dengan berani, bakar-musnahkan pikiran, dan serahkan dirimu pada kedunguan. Bila kau ingin menggunakan ilmu alkimia4ini, renungkanlah sedikit, dan ikuti contohku, tinggalkan dirimu sendiri; dari pikiranmu yang mengelana hendaklah kau menarik diri ke dalam jiwamu agar kau dapat sampai pada kepapaan ruhani. Akan halnya diriku, yang bukan aku dan bukan pula yang-lain-dari-aku, telah tersesat dari diriku sendiri, dan tak mendapatkan penawar lain kecuali putus asa.

Pertanyaan Seorang Murid pada Syaikhnya
Seseorang yang berusaha mengatasi kelemahannya pada suatu ketika bertanya pada Nuri, "Bagaimana aku akan dapat mencapai persatuan dengan Tuhan?" Nuri menjawab, "Untuk itu, kau harus menyeberangi tujuh lautan cahaya dan tujuh lautan api, dan menempuh jalan yang amat panjang. Bila kau telah menyeberangi dua kali tujuh lautan ini, seekor ikan akan menghela kau kepadanya, ialah macam ikan yang bila bernafas menyedot ke dadanya yang awal dan yang akhir. Ikan yang mengagumkan ini tak berkepala maupun berekor. Ia menahan diri di tengah lautan, diam dan terpisah; ia menyapu-hilangkan kedua dunia dan ia menyerap segala makhluk tanpa kecuali."

Catatan kaki:
1 Sirat (lengkapnya: Sirat al-Mustaqim): Jalan Lurus, Jalan Benar. Juga: Jembatan yang melintang di atas jurang neraka; lebih halus daripada sehelai rambut, lebih tajam daripada pedang, penuh dengan duri dan semak-duri. Mereka yang baik akan lalu dengan selamat, tetapi mereka yang jahat akan jatuh ke dalam jurang itu.
2 Yang Terang Bersinar. Kendaraan Nabi Muhammad waktu melakukan Mikraj malam hari.
3 Waktu penyaliban, Tuhan menaikkan Isa ke langit ketujuh, dan kebetulan sebatang jarum dan kendi yang pecah terbawa olehnya. Karena barang-barang duniawi itu menjadi larangan Tuhan maka Isa diturunkan ke langit keempat. Di sana ia akan tetap tinggal dalam kemuliaan dan ia akan datang kembali pada Hari Kemudian.
4 Ilmu kimia kuno; tujuannya yang terutama ialah mengubah logam-logam biasa menjadi emas dan menemukan minuman yang dapat membuat orang tetap muda. Di sini tentu saja dipakai dalam arti metaforis.

45. Sikap Burung-Burung
Setelah burung-burung mendengarkan pembicaraan Hudhud, kepala mereka pun terkulai, dan kesedihan mencucuk-cucuk hati mereka. Kini mereka mengerti betapa sulit bagi sekepul debu seperti mereka untuk meregang busur sehebat itu. Begitu besar gairah mereka sehingga banyak yang mati di tempat dan saat itu. Tetapi yang lain-lain, betapa sengsaranya pun, memutuskan untuk menempuh jalan panjang itu. Bertahun-tahun mereka mengembara melintasi gunung demi gunung dan lembah demi lembah, dan sebagian besar hidup mereka mengalir lalu di perjalanan itu. Tetapi bagaimana mungkin menuturkan segala yang telah terjadi pada mereka? Perlu berjalan bersama mereka dan mengetahui kesulitan-kesulitan mereka, serta mengikuti pengembaraan-pengembaraan di jalan panjang itu; barulah kita dapat menyadari penderitaan burung-burung itu.

Pada akhirnya, hanya sejumlah kecil dari kawanan yang besar itu dapat sampai ke tempat mulia yang ditunjukkan Hudhud. Dari ribuan burung itu hampir semuanya telah lenyap. Banyak yang hilang di lautan, yang lain binasa di puncak gunung-gunung tinggi, disiksa dahaga; yang lain lagi terbakar sayapnya, sedang hatinya mengering karena api matahari; sebagian dimangsa macan dan macan tutul, sebagian lagi mati kecapaian di gurun-gurun dan di hutan-hutan belantara, dengan bibir kering dan tubuh kepanasan: ada yang menjadi gila dan saling berbunuhan karena sebutir jawawut; ada pula yang karena lemah oleh penderitaan dan keletihan, jatuh di jalan dan tak kuat melanjutkan perjalanan lebih jauh lagi; yang lain, bingung karena apa-apa yang mereka lihat, berhenti di tempat itu, tercengang-cengang; dan banyak, yang telah berangkat lantaran ingin tahu atau senang, tewas tanpa mendapat gambaran tentang apa yang mereka cari dalam perjalanan yang telah mulai mereka tempuh itu.

Karena itu, dari semua burung yang beribu-ribu itu, hanya tiga puluh saja yang dapat sampai ke tujuan perjalanan itu. Dan mereka ini pun kebingungan pula, letih, dan sedih, tak berbulu dan bersayap lagi. Tetapi kini mereka ada di muka pintu Yang Mulia, yang tak terperikan, dan yang hakikat dirinya tak terpahami - Wujud yang mengatasi pikiran dan pengetahuan makhluk. Maka memancarlah kilat kepuasan, dan seratus dunia pun terbakar-musnah dalam sekejap saja. Dan mereka pun melihat ribuan matahari, masing-masing lebih gemilang dari yang lain, ribuan bulan dan bintang, semua sama indahnya, dan melihat semua itu, mereka pun keheranan dan bergairah bagai sebutir zarrah debu, dan mereka pun berseru, "O Paduka yang lebih cemerlang dari surya! Yang membuat surya tampak bagai sebutir zarrah, bagaimana mungkin kami terlihat di muka Paduka? Ah, mengapa kami telah menanggung segala penderitaan di Jalan itu dengan begitu sia-sia? Setelah meninggalkan segalanya dan diri kami sendiri, kami kini tak mungkin mendapatkan apa yang telah kami usahakan. Di sini tak penting lagi apakah kami ada atau tidak."

Maka burung-burung yang cemas sehingga mereka menyerupai ayam jago yang setengah mati itu tenggelam dalam putus-asa. Waktu yang lama pun berlalu. Ketika, pada saat yang baik, tiba-tiba pintu terbuka, keluarlah kepala rumah tangga keraton, salah seorang abdi keraton Seri Baginda. Ia memeriksai burung-burung itu dan mengetahui bahwa dari yang beribu-ribu itu hanya tiga puluh ekor burung itu yang tinggal.

Ia pun berkata, "Nah, wahai burung-burung, dari mana kalian datang, dan hendak mengapa kalian ke mari? Siapa nama kalian? Wahai kalian yang tak memiliki apa pun, di mana rumah kalian? Kalian disebut apa di dunia? Apa yang mungkin dilakukan dengan sekepul debu yang lemah macam kalian ini?"
"Kami datang," kata mereka. "Untuk mengakui sang Simurgh sebagai Raja kami. Karena cinta dan damba kami terhadapnya, kami telah kehilangan akal dan kedamaian pikiran. Di masa yang sudah begitu lama berlalu, ketika kami berangkat dalam perjalanan ini, kami beribu-ribu, dan kini hanya tiga puluh yang sampai ke keraton mulia ini. Kami tak mungkin percaya bahwa Raja akan memurkai kami setelah kami mengalami segala penderitaan itu. Ah, tidak! Ia hanya akan memandang kami dengan pandangan penuh kemurahan!"

Kepala rumah tangga keraton itu menjawab, "O kalian yang risau dalam hati dan pikiran, apakah kalian ada atau tak ada di alam semesta, Raja senantiasa kekal adanya. Beribu-ribu makhluk dunia tak lebih dari semut depan pintu gerbangnya. Kalian tak lain hanya membawa keluh dan ratapan. Kalau demikian kembalilah ke tempat asal kalian, o kepul tanah yang hina!"

Mendengar itu, burung-burung itu kejang-kaku karena heran. Namun begitu, ketika mereka sadar kembali, mereka pun berkata, "Akankah Raja agung itu menolak kami begitu hinanya? Dan jika memang demikian sikapnya pada kami, tak mungkinkah ia mengubah sikap itu terhadap yang patut mendapat kemuliaan? Ingatlah Majnun yang mengatakan, 'Jika semua orang yang tinggal di bumi ini ingin menyanyikan pujian bagiku, tak akan kuterima mereka; aku lebih senang menerima hinaan-hinaan Laila. Satu saja hinaannya bagiku lebih dari seratus pujian yang datang dari wanita lain!'"
"Kilat keagungannya akan memancar sendirinya," kata kepala rumah tangga keraton itu, "ia akan mengangkat pikiran dari segala jiwa. Apakah gunanya bila jiwa hancur karena seratus duka? Apakah gunanya pada saat ini berada dalam keagungan atau kehinaan?"

Burung-burung, yang dibakar cinta itu, berkata, "Bagaimana mungkin kupu-kupu menyelamatkan diri dari nyala api bila ia ingin menjadi satu dengan nyala api itu? Sahabat yang kita cari akan memuaskan kita dengan memperkenankan kita menyatukan diri padanya. Bila kini kami ditolak, apakah lagi daya kami? Kami seperti kupu-kupu yang menginginkan persatuan dengan nyala lilin. Banyak yang meminta pada kupu-kupu itu agar tak mengorbankan diri begitu konyol dan demi tujuan yang sedemikian langka pula, namun kupu-kupu itu mengucapkan terima kasih pada mereka atas nasihat itu dan mengatakan pada mereka bahwa karena hatinya telah diserahkan pada nyala lilin itu buat selamanya, maka tak ada lagi yang mesti dipersoalkan."

Setelah menguji burung-burung itu, maka kepala rumah tangga keraton itu pun membukakan pintu, dan ketika ia menyingkapkan seratus tabir, satu demi satu, maka sebuah dunia baru di balik tabir itu tersingkap. Kini cahaya dari segala cahaya memancar, dan sekalian burung-burung itu duduk di atas masnad,1 tempat duduk Yang Mulia dan Agung. Kepada mereka diberikan nas, dan mereka diminta membaca itu, dan setelah membaca dan merenungkan, mereka pun dapat memahami keadaan mereka. Ketika mereka sepenuhnya merasa tenang dan terlepas dari segala apa pun, mereka menjadi sadar bahwa sangSimurghada di sana bersama mereka. Segala yang telah mereka perbuat dahulu terhapus. Matahari keluhuran memancarkan sinarnya, dan dalam saling merenungi wajah sesama mereka, ketiga puluh burung (si-murgh) dari dunia luar ini menatap sang Simurgh dari dunia dalam. Ini amat menakjubkan sehingga mereka tak tahu apakah mereka masih tetap mereka atau apakah mereka telah menjadi sang Simurgh. Akhirnya, dalam suasana tafakur itu, mereka menyadari bahwa mereka sang Simurgh dan bahwa sang Simurgh ketiga puluh burung itu juga. Ketika mereka menatap sang Simurgh, mereka melihat bahwa sungguh sang Simurgh yang ada di sana itu, dan ketika mereka mengarahkan pandang ke diri mereka sendiri, mereka melihat bahwa mereka sendiri sang Simurgh. Dan mengamati keduanya serempak, yaitu diri mereka sendiri dan Dia, mereka pun menyadari bahwa mereka dan sang Simurgh itu wujud yang satu dan yang itu juga. Tiada siapa pun di dunia pernah mendengar tentang sesuatu yang seperti itu.

Kemudian mereka tenggelam dalam tafakur, dan sejenak kemudian, tanpa menggunakan kata-kata, mereka mohon pada sang Simurgh agar menyingkapkan pada mereka rahasia tentang rahasia keesaan dan kejamakan segala wujud. Sang Simurgh, juga tanpa kata-kata, memberikan jawaban ini, "Matahari keluhuranku ialah cermin. Siapa bercermin di sana melihat jiwa dan raganya, melihat semua itu sepenuhnya. Karena kalian telah datang sebagai tiga puluh burung, si-murgh, kalian pun akan melihat tiga puluh burung dalam cermin itu. Bila empat puluh atau lima puluh yang datang, tentu akan melihat sejumlah itu pula. Meskipun kalian kini telah berubah sepenuhnya, namun kalian melihat diri kalian sendiri sebagaimana keadaan kalian dahulu.

Dapatkah penglihatan seekor semut sampai ke bintang Kartika yang sayup? Dan dapatkah serangga mengangkat landasan? Pernahkah kalian melihat nyamuk mencaplok gajah? Segala yang telah kalian ketahui, segala yang telah kalian lihat, segala yang telah kalian katakan atau kalian dengar-semuanya bukan yang itu lagi. Bila kalian melintasi lembah-lembah Jalan Ruhani dan bila kalian melakukan kewajiban-kewajiban yang baik, kalian melakukan semua itu dengan kegiatanku yang menyertai kalian; dan kalian dapat melihat lembah-lembah hakikat dan kesempurnaanku. Kalian yang hanya tiga puluh burung saja, sepantasnya merasa kagum, tak sabar dan heran. Tetapi aku lebih dari tiga puluh burung. Aku hakikat sang Simurgh yang sejati itu sendiri. Maka leburkan diri kalian dalam diriku dengan jaya dan gembira, dan dalam diriku kalian akan menemukan diri kalian sendiri."

Segera sesudah itu, burung-burung itu akhirnya meniadakan diri mereka sendiri dalam diri sang Simurgh- bayang-bayang telah lenyap dalam cahaya surya, dan begitulah adanya.
Segala yang telah kau dengar, kau lihat atau kau ketahui bukan pula awal dari apa yang harus kau ketahui, dan karena permukiman yang bobrok di dunia ini bukan tempatmu, maka kau harus meninggalkannya. Carilah pokok pohon itu, dan jangan risaukan apakah cabang-cabangnya ada atau tidak ada.

Kebakaan Setelah Kemusnahan
Setelah seratus ribu keturunan berlalu, burung-burung fana itu dengan sendirinya menyerahkan diri pada kemusnahan sepenuhnya. Tiada siapa pun, baik muda maupun tua, dapat berbicara dengan tepat tentang kematian atau kebakaan. Sebagaimana jauhnya kedua hal ini dari kita, sedemikian pula pemerian tentang keduanya tak mungkin jelas atau pasti. Jika pembacaku mengharapkan penjelasan dengan amsal tentang kebakaan yang menyusul setelah kemusnahan, untuk itu perlu kutulis buku lain. Selama kau terikat dengan perkara-perkara dunia, kau tak mungkin menempuh Jalan itu, tetapi bila dunia tak lagi mengikatmu, kau akan dapat memasukinya seperti dalam mimpi; tetapi mengetahui tujuannya, kau pun akan melihat manfaatnya. Suatu benih diasuh di antara seratus pemeliharaan dan cinta sehingga ia dapat menjadi makhluk yang cerdas dan berkegiatan. Ia dididik dan diberi pengetahuan yang perlu. Kemudian maut datang dan segalanya terhapus, keagungannya tergulingkan. Demikianlah suatu makhluk telah menjadi debu jalanan. Berkali-kali ia telah dimusnahkan; tetapi sementara itu, ia telah dapat mengetahui seratus rahasia yang sebelumnya tak pernah disadarinya, dan pada akhirnya ia mendapat kebakaan, dan beroleh kehormatan sebagai ganti kehinaan. 

Tahukah kau apa yang kaumiliki? Masuklah ke dalam dirimu sendiri dan renungkan ini. Selama kau tak menyadari kenihilanmu, dan selama kau tak meninggalkan kebanggaan diri, kesombongan dan cinta diri, kau tak akan dapat mencapai puncak kebakaan. Di Jalan itu kau tercampak dalam kehinaan dan terangkat dalam kehormatan.
Dan kini ceritaku pun selesai, tak ada lagi yang mesti kukatakan.

Catatan kaki:
1 tempat duduk raja-raja, yang cukup lebar buat beberapa orang.


AKHIRUL KALAM
O Attar! Telah kau tebarkan di dunia isi bejana wangian kerahasiaan itu. Segala ufuk dunia penuh dengan wangianmu dan para pencinta terusik karena kau. Sajak-sajakmu ialah capmu; dan itu dikenal sebagai Mantiq Uttair dan Makamat Uttiyur. Musyawarah dan percakapan serta pembicaraan burung-burung itu ialah tahapan-tahapan di jalan kebenaran; atau katakanlah, itu Dewan Kemabukan namanya.
Masuklah ke dewan ini dengan cinta. Bila Bulbul cintamu menggelepar lari dan kau mendambakan sesuatu, berbuatlah sejalan dengan dambamu. Cinta ialah penawar bagi segala sangsi, dan ia penawar jiwa di kedua dunia.

O kau yang telah melangkah di jalan kemajuan batin, jangan baca bukuku hanya sebagai karya puisi, atau sebagai buku sihir, tetapi bacalah dengan pengertian; dan untuk itu, orang harus lapar akan sesuatu, tak puas dengan dirinya sendiri dan dunia ini.
Ia yang tak mencium wangian pembicaraanku belum lagi menemukan jalan para pencinta. Tetapi ia yang mau membaca ini dengan cermat akan menjadi giat, dan akan layak menempuh Jalan yang kubicarakan itu.

Sehubungan dengan pembicaraanku ini, mereka dari dunia lahiriah akan serupa orang-orang yang mati tenggelam, tetapi orang-orang dari dunia batin akan memahami rahasianya. Bukuku ialah perhiasan zamannya; sekaligus ini persembahan bagi orang-orang terkemuka dan hadiah bagi orang kebanyakan. Bila seseorang sedingin es membaca buku ini, ia akan memancar bagai api dari dalam tabir yang menyembunyikan rahasia itu daripadanya. Tulisanku memiliki keistimewaan yang mengagumkan --ia akan memberikan lebih banyak manfaat sesuai dengan bagaimana cara membacanya. Jika sering engkau membacanya, ia akan memberikan manfaat padamu lebih banyak lagi pada setiap kali. Cadar wanita sanastri ini akan tersingkap bagimu sedikit demi sedikit di tempat yang terhormat dan baik saja. Aku telah menebarkan mutiara-mutiara dari lautan renungan; dengan itu aku pun terbebas dari kewajiban yang mesti kupenuhi, dan buku ini ialah buktinya.

Tetapi bila aku kelewat banyak memuji diri sendiri, mungkin kau tak setuju; sungguhpun ia yang tak berat sebelah akan mengakui jasaku, sebab cahaya purnamaku tak tersembunyi. Jika diriku sendiri tak dikenang, aku akan dikenang sampai hari kiamat karena mutiara-mutiara puisi yang telah kutebarkan di atas kepala orang banyak. Kubah-kubah langit akan hancur sebelum sajak ini nanti sirna.
Pembaca; bila kau mengalami keadaan yang baik karena telah membaca sajak ini dengan penuh perhatian, kenang penulisnya dalam doa-doamu. Telah kutaburkan di sana-sini bunga-bunga mawar dari kebun. Kenang aku baik-baik, O sahabat-sahabatku! Setiap guru menyingkapkan gagasan-gagasannya dengan caranya sendiri yang khas, dan kemudian ia pun lenyap. Seperti mereka yang lebih dulu dari aku, aku telah memperlihatkan burung jiwaku pada orang-orang yang tidur. Mungkin tidur yang memenuhi hidupmu telah menjauhkan kau dari pembicaraan ini; tetapi, setelah mendengar ini, jiwamu akan dibangunkan oleh rahasia yang disingkapkannya.

Dan kini pikiranku hitam karena asap bagai mihrab yang diberi berlampu: Telah kukatakan dalam hati, "O kau yang begitu banyak bicara, ketimbang begitu banyak bicara, pukullah kepalamu dan carilah rahasia-rahasia itu. Apakah gunanya segala pembicaraan ini bagi orang-orang yang dirusakkan oleh nafsu mementingkan diri sendiri. Apakah yang mungkin timbul dari hati yang diliputi kesombongan dan kebanggaan diri?"
Bila kau mengharapkan lautan jiwamu tetap tinggal dalam gerak yang bermanfaat, kau harus mematikan diri terhadap hidupmu yang dulu, dan kemudian tinggal diam membisu.

ATTAR
Faridu'd-Din Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim lebih dikenal dengan nama Attar, si penyebar wangi. Meskipun sedikit yang diketahui dengan pasti tentang hidupnya, namun agaknya dapat dikatakan bahwa ia dilahirkan pada tahun 1120 Masehi dekat Nisyapur di Persia Barat-Laut (tempat kelahiran Omar Khayyam). Tarikh wafatnya tak diketahui dengan pasti, tetapi dapat diperkirakan sekitar tahun 1230, sehingga ia hidup sampai usia seratus sepuluh tahun. Sebagian besar dari apa yang diketahui tentang dirinya bersifat legendaris, juga kematiannya di tangan seorang prajurit Jenghis Khan. Dari catatan kenang-kenangan pribadinya yang tersebar di antara tulisan-tulisannya agaknya dapat disebutkan bahwa ia melewatkan tiga belas tahun dari masa mudanya di Meshed. Menurut Dawlatshah, suatu hari Attar sedang duduk dengan seorang kawannya di muka pintu kedainya, ketika seorang darwis datang mendekat, singgah sebentar, mencium bau wangi, kemudian menarik nafas panjang dan menangis. Attar mengira darwis itu berusaha hendak membangkitkan belas kasihan mereka, lalu menyuruh darwis itu pergi.

Darwis itu berkata, "Baik, tak ada satu pun yang menghalangi aku meninggalkan pintumu dan mengucapkan selamat tinggal pada dunia ini. Apa yang kupunyai hanyalah khirka yang lusuh ini. Tetapi aku sedih memikirkanmu, Attar. Mana mungkin kau pernah memikirkan maut dan meninggalkan segala harta duniawi ini?"
Attar menjawab bahwa ia berharap akan mengakhiri hidupnya dalam kemiskinan dan kepuasan sebagai seorang darwis. "Kita tunggu saja," kata darwis itu, dan segera sesudah itu ia pun merebahkan diri dan mati.

Peristiwa ini menimbulkan kesan yang amat dalam di hati Attar sehingga ia meninggalkan kedai ayahnya, menjadi murid Syaikh Bukn-ud-din yang terkenal, dan mulai mempelajari sistem pemikiran Sufi, dalam teori dan praktek. Selama tiga puluh sembilan tahun ia mengembara ke berbagai negeri, belajar di permukiman-permukiman para syaikh dan mengumpulkan tulisan-tulisan para Sufi yang saleh, sekalian dengan legenda-legenda dan cerita-cerita. Kemudian ia pun kembali ke Nisyapur di mana ia melewatkan sisa hidupnya. Konon ia memiliki pengertian yang lebih dalam tentang alam pikiran Sufi dibandingkan dengan siapa pun di zamannya. Ia mengarang sekitar dua ratus ribu sajak dan banyak karya prosa. Ia hidup sebelum Jalal-uddin Rumi. Ditanya siapa yang lebih pandai di antara keduanya itu, seorang Sufi mengatakan, "Rumi membubung ke puncak kesempurnaan bagai rajawali dalam sekejap mata; Attar mencapai tempat itu juga dengan merayap seperti semut. Rumi mengatakan, "Attar ialah jiwa itu sendiri."

Garcin de Tassy menuturkan bahwa dalam tahun 1862 Nicholas Khanikoff menemukan sebuah batu nisan di luar Nisyapur, yang didirikan antara tahun 1469 dan 1506 (sekitar dua ratus lima puluh tahun sepeninggal Attar). Di situ terukir inskripsi dalam bahasa Parsi. Terjemahan Tassy atas inskripsi itu ke dalam bahasa Perancis dapat diterjemahkan pula sebagai berikut:
Allah Kekal Dengan nama Allah Yang Pengasih Yang Pengampun

Di sini di taman Adn bawah, Attar menebarkan wangi pada jiwa orang-orang yang paling sederhana. Inilah makam seorang yang begitu mulia sehingga debu yang terusik kakinya akan merupakan kollirium di mata langit; makam syaikh Attar Farid yang terkenal, yang menjadi ikutan orang-orang suci; makam penebar wangi yang utama dengan nafasnya yang mengharumi dunia dariKafkeKaf. Di kedainya, sarang para malaikat, langit bagai botol obat semerbak dengan wangi sitrun. Bumi Nisyapur akan terkenal hingga hari kiamat karena orang yang termasyhur ini. Tambang emasnya terdapat di Nisyapur sebab ia dilahirkan di Zarwand di wilayah Gurgan. Ia tinggal di Nisyapur selama delapan puluh dua tabun, dan tiga puluh dua tahun dari waktu itu dilewatkannya dalam ketenangan. Dalam usia yang sudah amat lanjut ia dikejar-kejar pedang pasukan tentara yang menelan segalanya. Farid tewas di zaman Hulaku Khan, terbunuh sebagai syahid dalam pembantaian besar-besaran yang terjadi ketika itu... Semoga Tuhan Yang Maha Tinggi mempersegar jiwanya! Tingkatkanlah, o Robbi, kebajikannya.
Makam orang yang mulia ini terletak di sini dalam wilayah pemerintahan Syah Alam, Seri Baginda Sultan Abu Igazi Hussein ...
Selebihnya, inskripsi itu menyatakan pujian terhadap Sultan. Agaknya tak ada catatan tertulis dewasa ini tentang bagaimana, bila, dan di mana dia meninggal dan dikuburkan.

CATATAN TENTANG KAUM SUFI
Sebutan Sufi diturunkan dari kata suf, bulu domba --jubah bulu domba kaum zahid. Kaum Sufi mengikuti ajaran batiniah dari Quran. Bersama dengan sistem pemikiran yang berdasarkan petunjuk-petunjuk dari kitab suci mereka, mereka mempunyai metoda yang praktis untuk menyempurnakan diri sendiri, yang diajarkan secara lisan. Dengan latihan-latihan, pengambilan sikap dan tarian, tenaga-tenaga insan yang senantiasa terlucut dari dirinya, akan bisa dimanfaatkan dan diarahkan untuk pengembangan batin dan peningkatan kesadaran. Maksud dan tujuannya ialah persatuan jiwa dengan Tuhan. Mungkin ada saat-saat pendahuluan tentang ini --saat-saat penyingkapan keinsafan (revelation) dan haru-gembira (ectasy)-- "karunia-karunia", demikianlah biasa disebutkan, tetapi kesempurnaan, persatuan dengan Tuhan, harus diusahakan; harus ada usaha yang terus-menerus.

Ada satu ALLOH. Segala sesuatu ada dalam Dia, dan Dia ada dalam segalanya. Segala sesuatu, yang tampak dan tak tampak, adalah pancaran-pancaran daripadaNya. Agama-agama, pada hakikatnya, bukanlah yang terutama, meskipun agama-agama itu dapat berguna untuk memimpin manusia ke arah Kenyataan. Baik dan Buruk, sebagaimana kita mengartikannya, tidaklah ada sebenarnya, karena segalanya bertolak dari Wujud Yang Satu, Tuhan; tetapi serempak dengan itu, ada "baik sejati" dan "buruk sejati". Manusia tidak bebas dalam tindakan-tindakannya; ia tak memiliki kemauan bebas, meskipun ini dapat dilakukan dengan berusaha menempuh jalan yang benar. Ia terbelok ke sana-sini karena pengarah-pengaruh dari dalam dan dari luar dirinya -menjadi permainan setiap angin yang bertiap. Persatuan dicapai dengan dua upaya berupa pengorbanan dan pembebasan: pengorbanan keinginan-keinginan, kesombongan dan angan-angan kita sendiri di satu pihak, dan di pihak lain pembebasan dari perkara-perkara duniawi --dari cinta akan kekuasaan, kemasyhuran, kekayaan dan kehormatan. Tetapi doa dan puasa juga dapat menjadi rintangan besar; kita dapat menjadi terikat dengan apa saja. Seorang Sufi, bagaimanapun juga, hendaknya tidak meninggalkan kebutuhan-kebutuhan dan tidak menarik diri dari dunia. Ia harus ada di dunia tetapi tidak terikat dengan dunia. Adalah suatu rahmat yang besar memiliki apa yang perlu bagi badan jasmani. Seks dengan sendirinya bukan perkara dosa, seperti yang terjadi dalam agama Kristen ortodoks, melainkan suatu milik yang berharga.
Arti dan guna tenaga seks dapat dimengerti. Seperti ditunjukkan Orage dalam esainya "Tentang Cinta", "Kesucian panca indera (dahulu kala) diajarkan sejak awal masa kanak-kanak. Dengan cara demikian, erotisisme menjadi suatu seni dalam bentuk tertinggi yang pernah diketahui dunia. Gemanya yang sayup masih terdapat dalam sastra Persia dan sastra Sufi dewasa ini."

Jiwa (dalam arti bagian tertinggi dari manusia yang mendambakan kesempurnaan) ada lebih dulu daripada raga dan terkurung dalam raga itu seperti dalam sebuah sangkar. Hidup manusia ialah sebuah perjalanan yang dilakukan bertahap-tahap. Dan pencari Tuhan ialah seorang musafir penempuh perjalanan itu, yang harus melakukan usaha-usaha keras untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan dan untuk mendapatkan pengetahuan dan pengertian yang benar.
Para pengikut sufisme mengatakan bahwa sufisme selalu ada dengan berbagai nama; dan bahwa sistem dan metoda, dalam bentuk-bentuk yang berbeda-beda, dikenal oleh orang-orang Mesir, Hindu, Buddha, Yahudi, Yunani dan Nasrani yang mula-mula --dalam kenyataannya, oleh agama-agama besar pada mulanya. Sufisme ada di Barat dewasa ini.

Hanya bantuan mereka yang telah mencapai tingkat perkembangan tertentu dapat membimbing si musafir di Jalan itu. Asalkan ia memiliki kesanggupan untuk mentaati disiplin dan melakukan usaha, sehari saja --atau bahkan satu jam saja, di kalangan orang-orang yang arif, akan lebih berharga daripada bertahun-tahun menjalankan pertarakan dan upacara-upacara lahiriah dalam peribadatan.
Di antara peraturan-peraturan bagi murid-murid di hadapan seorang guru dapat disebutkan yang berikut: "Perhatikan dan jangan banyak bicara. Jangan jawab pertanyaan yang tidak ditujukan padamu; tetapi jika ditanya, jawablah segera, dan jangan malu mengatakan, 'aku tak tahu'. Jangan berdebat demi perdebatan semata. Jangan menyombong di hadapan yang lebih tua. Jangan mencari tempat paling terhormat. Jangan bersikap kelewat khidmat. Patuhi adat kebiasaan sehari-hari, dan sesuaikan diri dengan keinginan-keinginan orang lain selama keinginan-keinginan itu tidak berlawanan dengan keyakinan batinmu. Jangan membuat kebiasaan apapun, kecuali jika itu kewajiban keagamaan atau yang berguna bagi orang-orang lain, sebab itu dapat menjadi berhala."

Kaum Sufi mengatakan bahwa hampir setiap orang dilahirkan dengan kesanggupan yang memungkinkan pengembangan batin, tetapi bahwa orang tuanya dan orang-orang sekelilingnya membuat dia menjadi seorang Yahudi, seorang Hindu, atau seorang Majusi, sehingga ia penuh dengan prasangka dan menerima saja apa yang dikatakan orang-orang lain tanpa mengingat pengalaman atau pemikirannya sendiri, dan ini menjadi batu penarung. Bila orang yang "beriman" orang yang telah menyempurnakan diri meninggal, jiwanya melayang ke langit yang sesuai dengan tingkat kesempurnaan yang telah dicapainya. Tetapi, betapapun banyak "pengetahuan" yang dimiliki seseorang, kalau ia tak menilik dirinya sendiri, dan mengakui dalam hati bahwa sesungguhnya ia tak mengerti apa-apa, maka segala yang telah didapatnya akan menjadi seperti "angin di tangan."

Penyair Sufi - Si Penyebar Wangi
Attar --yang berarti si penyebar wangi-- adalah nama julukan penyair besar Sufi Faridu'd-Din Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim. Dia lahir di Nisyapur, Persia Barat Laut (tempat kelahiran Umar Khayyam) pada tahun 1120, dan meninggal pada tahun 1230 setelah mencapai usia 110 tahun. Ia gugur ketika pasukan Mongol menyerbu daerahnya.
Semasa hidupnya selain menulis Musyawarah Burung sebagai buah tangannya yang paling mashur, ia juga menulis prosa yang tak kurang tenarnya: Kenang-kenangan Para Sufi dan Buku Bijak Bestari.
Musyawarah Burung (1184-1187) yang tertulis dalam gaya sajak alegoris ini, melambangkan kehidupan dan ajaran kaum Sufi.
_________________________________
Musyawarah Burung terjemahan dari Judul asli: Mantiqu't-Thair oleh Faridu'd-Din Attar Diterjemahkan dari The Conference of the Birds.
_________________________________
Tamat..
thumbnail
Judul: Musyawarah Burung (Part 06)
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh

Artikel Terkait Hikayah :

0 komentar:

Post a Comment

 
Copyright © 2013. About - Sitemap - Contact - Privacy
Template Seo Elite oleh Al Fikr Publisher FreTempl