Thursday, 5 February 2015

Musyawarah Burung (Part 03)

Dinda Share-lanjutan Musyawarah Burung part2
 16. Burung-burung Berangkat
Takut dan cemas menimbulkan jerit kepiluan burung-burung itu ketika mereka memandang jalan yang tiada berulung di mana topan pembebasan dari segala yang berbau bumi membelah ruang langit. Dalam ketakutannya, mereka berdesak-desakan dan minta petunjuk padaHudhud. Mereka berkata, "Kami tak tahu bagaimana harus menghadap Simurgh dengan hormat-takzim sepatutnya. Tetapi kau pernah hidup di dekat Sulaiman dan tahu sopan santun. Juga kau telah mendaki dan menuruni jalan ini, dan berkali-kali terbang keliling dunia. Kau imam kami, yang dapat mengikat melepaskan. Kami minta kau kini naik mimbar dan mengajar kami. 

Ceritakan pada kami tentang jalan itu dan tentang istana Raja serta upacara-upacara di sana, karena kami tak ingin memperlihatkan tingkah laku yang dungu. Juga segala macam kesulitan timbul dalam pikiran kami, dan untuk perjalanan ini kami perlu bebas dari kecemasan. Banyak pertanyaan yang mesti kami ajukan, dan kami ingin kau akan dapat melenyapkan keragu-raguan kami; jika tidak, kami tak akan dapat melihat dengan jelas di jalan panjang ini."

Hudhud kemudian mengenakan mahkota di kepalanya, duduk di singgasana dan bersiap diri hendak berbicara pada mereka. Ketika pasukan burung-burung berjajar di mukanya dalam barisan, Bulbul dan Perkutut mendekat, dan seperti dua pembaca dengan suara yang sama, mereka memancarkan lagu yang begitu merdu sehingga segala yang mendengar merasa terhanyut. Kemudian satu demi satu, sejumlah burung mendekat padanya untuk bicara tentang berbagai kesulitan dan menyatakan alasan-alasan mereka.

17. Ucapan Burung Pertama
Burung pertama berkata pada Hudhud, "O kau yang telah diangkat sebagai pemimpin, katakan pada kami apa yang membuat kau lebih dari kami. Karena tampaknya kau pun seperti kami, dan kami seperti kau pula, maka dalam hal mana letak perbedaannya? Dosa raga atau dosa jiwa manakah telah kami lakukan, maka kami bodoh sedang kau memiliki kearifan?"
Hudhud menjawab, "Ketahuilah, o burung, bahwa suatu kali kebetulan Sulaiman melihat aku; dan bahwa nasib baikku bukanlah berkat emas atau perak, tetapi karena pertemuan yang mujur ini. Bagaimana mungkin makhluk mendapat manfaat dari kepatuhan semata? Iblis sendiri pun patuh. Namun, siapa pun yang menasihatkan agar meninggalkan kepatuhan, maka kutuk akan jatuh padanya buat selamanya. Amalkan kepatuhan, maka kau akan berhasil mendapat pandang sekilas dari Sulaiman yang sejati."


Mahmud dan Penangkap Ikan
Sultan Mahmud suatu kali terpisah dari pasukannya, dan benar-benar seorang diri saja menggelepar lari di atas kudanya bagaikan angin. Tak lama kemudian dilihatnya seorang anak laki-laki kecil duduk di tepi sungai menebarkan jalanya. Sultan Mahmud mendekatinya; dan mendapati bahwa anak itu sedih dan murung, maka ia pun berkata, "Anak manis, apa yang membuat kau begitu sedih? Belum pernah kulihat orang semurung itu." "O Pangeran yang tampan," jawab anak itu, "kami ini tujuh bersaudara; kami tak berayah lagi, dan ibu kami amat miskin. Setiap hari hamba datang dan berusaha menangkap ikan buat makan. Hanya bila hamba berhasil menangkap beberapa ekor, kami akan dapat makan malam."
"Bolehkah aku mencoba?" tanya Sultan. Setelah anak itu memperbolehkan, Sultan pun menebarkan jala, yang karena ikut membantu kemujuran penebarnya, dengan cepat jala itu menarik seratus ekor ikan. 

Melihat itu, si anak berkata dalam hati, "Nasibku sungguh mengagumkan. Alangkah beruntungnya karena semua ikan ini berguling-guling masuk ke dalam jalaku." Tetapi Sultan berkata, "Jangan bohongi dirimu sendiri Anakku. Akulah penyebab kemujuranmu. Sultan telah menangkap semua ikan ini untukmu." Berkata demikian, Sultan pun meloncat ke atas kudanya. Anak itu mohon pada Sultan agar mengambil bagiannya, tetapi Sultan menolak, dengan mengatakan bahwa ia akan mengambil perolehan hari berikutnya. "Esok pagi, kau harus menangkap ikan untuku," katanya. Kemudian ia pun kembali ke istananya. Keesokan harinya diperintahkannya seorang perwiranya untuk mengambil anak itu. Setelah mereka tiba, diperintahkannya anak itu duduk di sisinya di atas singgasana. "Tuanku," kata seorang pegawai istana, "anak ini pengemis!" "Biarlah," jawab Sultan, "kini ia jadi kawanku. Mengingat bahwa kami telah mengikat persahabatan, tak dapat aku menyuruhnya pergi." Demikianlah Sultan memperlakukan anak itu sama dengan dirinya. Akhirnya seseorang bertanya pada anak itu, "Bagaimana halnya maka kau begitu dihormati?" Anak itu menjawab, "Kegembiraan telah datang, dan kesedihan pun berlalu, karena aku bertemu dengan raja yang berbahagia."


Mahmud dan Penebang Kayu
Di saat lain ketika Sultan Mahmud sedang berkuda seorang diri, ia berjumpa dengan pak tua penebang kayu yang sedang menuntun keledainya mengangkut semak-semak duri. Pada saat itu si keledai tersandung, dan ketika hewan itu jatuh, duri-duri pun mengelupas kulit kepala pak tua. Melihat semak-semak duri yang jatuh di tanah, keledai yang terjungkir balik dan pak tua yang menggosok-gosok kepalanya, Sultan pun bertanya, "O laki-laki malang, adakah kau membutuhkan kawan?" "Aku benar-benar membutuhkan," jawab penebang kayu itu. "Perajurit berkuda yang baik, kalau kau mau menolongku, aku akan beruntung dan kau tak akan rugi apa pun. Pandanganmu alamat baik bagiku. Semua tahu sudah bahwa orang akan menemukan rasa-persahabatan dari mereka yang berwajah ramah." Maka Sultan yang baik hati itu pun turun dan kuda, dan setelah menegakkan kaki keledai, ia pun mengangkat semak-semak duri dan mengikatkannya ke punggung hewan itu. Lalu ia berkendara pergi menggabungkan diri dengan pasukannya kembali. Katanya pada para prajuritnya, "Pak tua penebang kayu akan datang bersama seekor keledai yang mengangkut semak-semak duri. Tutuplah jalan agar ia nanti terpaksa harus lalu di mukaku." Ketika penebang kayu itu sampai ke tempat para prajurit, berkatalah ia dalam hatinya, "Bagaimana aku akan dapat lalu dengan hewan lemah ini?" Maka ia pun pergi lewat jalan lain, tetapi melihat payung kebesaran raja di jauhan ia pun mulai gemetar, karena jalan yang terpaksa harus ditempuhnya akan membawa dia berhadapan dengan Sultan. Ketika ia semakin dekat, ia diliputi kebingungan, karena di bawah payung itu dilihatnya wajah yang sudah dikenalnya. "O Tuhan," katanya, "betapa hamba dalam kesulitan! Hari ini hamba harus menghadapi Mahmud sebagai penjaga pintu hamba."

Setelah ia sampai, Mahmud berkata padanya, "Kawanku yang miskin, apa mata pencaharianmu?" Penebang kayu itu menjawab, "Tuanku sudah maklum. Janganlah berpura-pura. Tuanku tak ingat akan hamba? Hamba pak tua yang miskin, penebang kayu pekerjaan hamba; siang-malam hamba kumpulkan semak-semak duri di gurun, lalu hamba jual, namun keledai hamba mati karena lapar. Jika Tuanku berkenan, beri apalah kiranya barang sekedar roti." "Kau si miskin," kata Sultan, "Berapa akan kau jual semak-semak durimu?" Penebang kayu itu menjawab, "Karena Tuanku tak hendak mengambilnya dengan cuma-cuma, dan hamba pun tak hendak menjualnya pula, maka berilah hamba sedompet emas." Mendengar itu, para perajurit pun berseru, "Tutup mulutmu, pandir! Semak durimu itu tak ada segenggam enjelai pun harganya. Mestinya kauberikan saja cuma-cuma." Pak Tua itu berkata, "Itu memang betul, tetapi nilainya sudah berubah. Ketika seorang yang berbahagia seperti Sultan menjamah ikatan duri-duriku, maka jadilah semuanya itu berkas-berkas mawar. Kalau Sultan hendak membelinya, maka harganya paling tidak satu dinar, karena Sultan telah menaikkan nilainya seratus kali dengan 
 menjamahnya."

18. Ucapan Burung Kedua
Seekor burung lain mendekati Hudhud dan berkata, "O pelindung bala tentara Sulaiman! Aku tak kuat menempuh perjalanan ini. Aku terlalu lemah untuk melintasi lembah demi lembah. Jalan begitu sulit sehingga aku akan terbaring mati pada tahap pertama. Ada gunung-gunung berapi di tengah jalan. Juga tidaklah menguntungkan bagi setiap orang untuk ikut serta dalam usaha demikian. Ribuan kepala telah bergulingan bagai bola dalam permainan polo, karena telah banyak yang tewas mereka yang pergi mencari Simurgh. Di jalan semacam itu, banyak makhluk yang tulus menyembunyikan kepala karena takut, bagaimana jadinya diriku nanti, yang tak lain dari debu? "

Hudhud menjawab, "O kau yang berwajah muram! Mengapa hatimu begitu sedih? Karena begitu kecil artimu di dunia ini, maka tak ada bedanya apakah kau muda dan berani atau tua dan lemah. Dunia benar-benar kotor; makhluk-makhluk binasa di sana pada setiap pintu. Beribu-ribu yang jadi kuning bagai sutera, dan binasa di tengah airmata dan derita. Lebih baik mengurbankan hidupmu dalam mencari ketimbang merana sengsara. Andaikan kita tak akan berhasil, tetapi mati karena sedih, yah, jauh lebih parah lagi, namun karena banyak kesalahan di dunia ini, kita setidak-tidaknya akan dapat menghindarkan diri dari kesalahan-kesalahan baru. Ribuan makhluk dengan cerdiknya menyibukkan diri dalam usaha mencari jasad mati dunia ini; maka, bila kau abdikan dirimu dalam usaha ini, terlebih lagi dengan tipu daya, akan dapatkah kau menjadikan hatimu lautan cinta! Ada yang mengatakan bahwa keinginan akan apa yang bersifat ruhani hanya kesombongan, dan bahwa bukan hanya yang beruntung akan dapat mencapainya. Tetapi tidakkah lebih baik mengurbankan hidup kita dalam mengejar nasrat ini ketimbang terikat dengan urusan duniawi? Telah kulihat segalanya dan telah kulakukan segalanya, dan tak ada apa pun yang menggoncangkan kesimpulanku. Lama aku harus berurusan dengan orang-orang dan telah kulihat betapa sedikit mereka yang benar-benar tak terikat pada kekayaan. Selama kita tak mempertaruhkan diri kita sendiri, dan selama kita terikat pada seseorang atau sesuatu, kita tak akan bebas. Jalan ruhani tidak teruntuk bagi mereka yang terliput dalam kehidupan lahiriah. Tapakkan kakimu di Jalan ini bila kau dapat berbuat, dan jangan bersenang hati dengan upaya yang hanya layak bagi betina. Ketahuilah sungguh-sungguh, bahwa seandainya pun pencarian ini tak bersifat saleh, namun masih tetap perlu dilaksanakan. Tentu saja, ini tak gampang; di pohon cinta, buah itu tak berdaun. Katakan pada siapa yang memiliki daun-daun agar melepaskan semua itu.

Bila cinta menguasai kita, ia membangkitkan hati kita, mencemplungkan kita dalam darah, memaksa kita bersujud di luar tirai; ia tak memberi kita istirahat sejenak pun; ia membunuh kita, namun masih tetap menuntut harga darah. Ia mereguk air luh1dan makan roti yang beragikan dukacita; tetapi meskipun kita lebih lemah dari seekor semut, cinta akan memberi kita kekuatan."

Cerita Kecil tentang Seorang Perenung
Seorang gila, yang gila akan Tuhan, pergi dengan bertelanjang ketika orang-orang lain pergi dengan berpakaian. Ia berkata, "O Tuhan, beri hamba pakaian yang indah, maka hamba pun akan puas seperti orang-orang lain." Sebuah suara dari dunia gaib menjawabnya, "Telah kuberikan padamu matahari yang hangat, duduklah dan bersuka-sukalah dalam kehangatan matahari itu." Si gila berkata "Mengapa menghukum hamba? Tak punyakah Tuan pakaian yang lebih baik dari matahari?" Suara itu pun berkata, "Tunggulah dengan sabar selama sepuluh hari, dan tanpa ribut-ribut akan kuberikan padamu pakaian lain." Matahari menghanguskan si gila itu selama delapan hari; kemudian seorang miskin datang mendekati dan memberinya sehelai pakaian yang bertambal seribu. Si gila berkata pada Tuhan, "O Tuan yang mengetahui segala apa yang tersembunyi, mengapa telah Tuan berikan pada hamba pakaian yang bertambal-tambal ini? Adakah telah Tuan bakar sekalian pakaian Tuan dan harus menambal pakaian usang ini? Tuan telah menyambung-nyambung seribu pakaian. Dari siapa Tuan mempelajari seni ini?"
Tidaklah mudah berhubungan dengan istana Tuhan. Orang harus menjadi bagai debu di jalan yang menuju ke sana. Setelah pergulatan yang lama ia mengira telah mencapai tujuannya hanya karena mengetahui bahwa tujuan itu masih harus dicapai.

Cerita tentang Rabi'ah
Rabi'ah, meskipun seorang wanita, namun merupakan mahkota laki-laki. Sekali ia mempergunakan waktunya delapan tahun untuk pergi haji ke Ka,bah dengan mengingsutkan panjang badannya di tanah. Ketika akhirnya ia sampai ke pintu rumah suci itu, ia berpikir, "Kini akhirnya telah kutunaikan kewajibanku." Pada hari suci ketika ia hendak menghadapkan diri ke Ka'bah, perempuan-perempuan pengiringnya meninggalkannya. Maka Rabi'ah pun menyelusuri jejaknya semula dan berkata, "O Tuhan yang memiliki seri keagungan, delapan tahun lamanya hamba telah mengukur jalan dengan panjang badan hamba, dan kini, ketika hari yang dirindukan itu telah tiba sebagai jawaban atas doa-doa hamba, Tuan letakkan duri-duri di jalan hamba!"
Untuk memahami arti peristiwa demikian.2 perlu pula mengetahui seorang pencinta Tuhan seperti Rabi'ah itu. Selama kau terapung-apung di lautan dunia yang dalam, ombak-ombaknya akan menerima dan menolakmu berganti-ganti. Kadang-kadang kau akan diperkenankan sampai ke Ka'bah, kadang-kadang pula kau akan menarik nafas panjang (karena kecewa) berada di sebuah kuil. Jika kau berhasil menarik diri dari keterikatan dengan dunia ini, kau akan menikmati kebahagiaan; tetapi jika kau tinggal terikat, kepalamu akan berpusing-pusing bagai batu giling pada perkakas penggiling. Tidak sejenak pun kau akan tenang; kau akan terganggu oleh seekor nyamuk saja pun.

Si Penggila Tuhan
Sudah menjadi kebiasaan seorang laki-laki miskin yang gandrung dengan Tuhan untuk berdiri di suatu tempat tertentu. Dan suatu hari seorang raja Mesir yang sering lalu di mukanya dengan orang-orang istana yang menjadi pengiringnya, berhenti dan berkata, "Kulihat dalam dirimu sifat tenang dan santai yang cukup menarik." Si gila itu menjawab, "Bagaimana hamba akan tenang kalau hamba menjadi sasaran lalat dan kutu anjing? Sepanjang siang lalat-lalat menyiksa hamba, dan malam hari kutu-kutu anjing tak membiarkan hamba tidur. Seekor lalat kecil saja yang masuk ke telinga Nimrod mengganggu benak si gila itu berabad-abad. Mungkin hamba Nimrod zaman ini sebab hamba harus berurusan dengan sahabat-sahabat hamba, lalat-lalat dan kutu-kutu anjing itu."

Catatan kaki:
1 Bahasa Jawa: airmata
2 Maksudnya: peristiwa si gila yang menyangka telah mencapai tujuannya (pada CERITA KECIL TENTANG SEORANG PERENUNG).


19. Ucapan Burung Ketiga
Burung ketiga berkat pada Hudhud, "Aku penuh dengan kesalahan, maka bagaimana aku akan berangkat menempuh jalan itu? Mungkinkah seekor lalat kotor layak bagi Simurgh di Pegunungan Kaukasus? Bagaimana mungkin pendosa yang berpaling dari jalan yang benar akan mendekati Raja?"
Hudhud berkata, "O burung yang kehilangan harapan, janganlah begitu berputus asa, mohonlah ampun dan kemurahan. Jika kau begitu mudah mencampakkan perisai itu, tugasmu sungguh-sungguh akan menjadi sulit..

Cerita Kecil tentang Seorang yang Jahat
Seorang yang bersalah karena banyak dosa bertaubat dengan pedihnya dan kembali ke jalan lurus. Tetapi pada waktunya, hasratnya akan keduniawian kembali lebih kuat dari yang sudah-sudah, dan sekali lagi ia tunduk pada pikiran-pikiran dan perbuatan-perbuatan jahat. Kemudian sedih menghimpit hatinya dan membawanya ke dalam keadaan yang amat sengsara. Sekali lagi ia ingin mengubah sikapnya, tetapi tak berdaya berbuat demikian. Bagai sebutir gandum dalam panci panas, siang dan malam hatinya tak dapat tenang, dan airmatanya menyirami debu. Suatu pagi sebuah suara gaib bicara padanya, "Dengarkan Tuhan Penguasa Dunia. Ketika kau bertaubat pertama kali, kuterima taubatmu. Meskipun aku dapat menghukummu, namun aku tak berbuat demikian. Kedua kali, ketika kau terjatuh dalam dosa, kuberikan pertangguhan bagimu, dan kini, dalam kemarahanku pun, tak kumatikan kau. Hari ini, o gila, kau tak mengakui pengkhianatanmu dan ingin kembali padaku buat yang ketiga kali. Kembalilah kalau begitu, ke Jalan itu. Aku membukakan pintuku bagimu dan menunggu. Bila kau benar-benar telah mengubah sikapmu, dosa-dosamu akan diampuni."

Malaikat Jibril dan Niat Baik
Suatu malam ketika Malaikat Jibril sedang berada di Sidrah, ia mendengar Tuhan mengucapkan kata perkenan, dan Jibril pun berkata dalam hati, "Seorang hamba Allah pada saat ini menyeru Yang Abadi, tetapi siapa dia gerangan? Aku hanya tahu bahwa dia tentulah besar kebajikannya, bahwa jasad nafsunya mati dan bahwa jiwanya hidup." Dan segera Jibril pun berangkat mencari makhluk fana yang berbahagia itu. Tetapi meskipun ia memeriksa benua dan pulau-pulau, gunung-gunung dan tanah-tanah datar, tak diketemukannya orang itu. Maka kembalilah ia kepada Tuhan, dan mendengar lagi jawaban yang penuh berkah atas doa itu.

Sekali lagi Jibril terbang melintasi darat dan laut, tetapi akhirnya ia terpaksa bertanya, "O Tuhan, jalan mana yang akan membawa hamba ke tempat abdi Tuan itu?" Tuhan berfirman, "Pergilah ke negeri Rum dan di sebuah biara Nasrani akan kau dapati dia." Jibril terbang ke biara itu dan di sana penerima karunia langit itu sedang bersujud di depan sebuah arca pujaan. "O Penguasa Dunia," sembah Jibril, "Singkapkan kiranya tabir rahasia ini. Bagaimana mungkin Tuan mengabulkan doa pemuja arca di biara ini?" Tuhan bersabda, "Hati orang itu ada dalam kegelapan. Ia tak sadar bahwa dirinya tersesat. Karena ia tersesat lantaran tak tahu, maka kemurahanku yang penuh kasih mengampuninya dan aku telah membukakan jalan baginya ke tingkat yang luhur." Kemudian Yang Maha Tinggi menggerakkan lidah orang itu sehingga ia dapat mengucapkan nama Tuhan.
Janganlah orang melalaikan hal yang paling kecil. Penyerahan diri tak dapat dibeli di toko; tidak pula mungkin kaucapai istana Yang Maha Tinggi dengan membayar sejumlah kecil.

Sang Sufi
Ketika seorang Sufi bergegas ke Baghdad, ia mendengar seseorang berkata, "Aku punya banyak madu yang hendak kujual murah sekali jika ada yang mau membelinya." Kata Sufi itu, "Kawanku yang baik, sudikah kau memberikan padaku sedikit dengan cuma-cuma? " Dengan marah orang itu menjawab, "Enyahlah. Apa kau gila dan kikir pula? Tidakkah kau tahu bahwa tak mungkin mendapatkan sesuatu dengan cuma-cuma?" Kemudian sebuah suara batin berkata pada sufi itu, "Tinggalkan tempat ini dan aku akan memberikan padamu apa yang tak terbeli dengan uang; segala kemujuran dan segala yang kaudambakan. Kerahiman Tuhan ialah matahari kemilau yang menjangkau hingga ke zarrah yang terkecil. Tuhan pun menegur Musa pula disebabkan seorang yang tak beriman."

Tuhan Menegur Musa As
Suatu hari Tuhan bersabda pada Musa, "Karun,1 sambil tersedu, menyeru kau tujuh kali dan kau tak menjawab. Kalau ia menyeru aku demikian, sekali saja, maka akan kurebut hatinya dari lubang penjara kemusyrikan dan kusalut dadanya dengan pakaian keimanan. O Musa, kau telah menyebabkannya binasa dengan seratus kepedihan, kau telah melontarkannya ke dalam tanah dengan keaiban. Seandainya kau khaliknya, kau tentu tak akan sekeras itu terhadapnya."
Dia yang pengampun terhadap mereka yang tak mengenal kasihan, amat dipujikan oleh orang-orang yang pengasih. Jika kau melakukan kesalahan-kesalahan seperti kebanyakan orang-orang yang berdosa, kau sendiri akan menjadi salah seorang yang berdosa itu.

Catatan kaki:
1 Karun ialah salah seorang dari umat Nabi Musa; ia dianugerahi kekayaan yang berlimpah-limpah, tetapi amat sombong terhadap sesama kaumnya. (LihatAl-QuranXXVIII: 76). Atas kehendak Tuhan ia beserta tempat tinggal (dan kekayaannya) kemudian ditelan bumi. (Lihat Al-Quran XXVIII: 81).

20. Pertanyaan Burung Keempat
Seekor burung lain berkata pada Hudhud, "Aku berwatak betina, dan hanya dapat melompat-lompat dari dahan ke dahan. Kadang-kadang aku suka main-main dan risau, kadang-kadang pula aku suka bertarak. Kadang-kadang nafsuku menyeret diriku ke tempat-tempat minum, kadang-kadang pula jiwaku menarik diriku buat berdoa. Ada kalanya, meskipun berlawanan dengan diriku sendiri, setan menyesatkan aku; dan ada kalanya pula malaikat membimbingku kembali. Di antara keduanya ini aku berada di lubang penjara; apa yang mungkin kulakukan selain meratap seperti Yusuf."
Hudhud menjawab, "Ini terjadi pada siapa saja, sesuai dengan fitrahnya. Jika kita tanpa salah sejak semula, Tuhan tentu tak perlu pula mengutus rasul-rasul dan nabi-nabiNya. Dengan kepatuhan kau akan mendapatkan kebahagiaan. O kau yang lena berbaring-baring di bilik kemalasan yang panas berkeringat, namun penuh dengan keinginan-keinginan tak berarti, sementara kau terus juga memberi makan anjing nafsumu, fitrahmu lebih buruk daipada fitrah si banci yang tak berdaya."

Cerita Kecil tentang Syabli
Sekali Syabli menghilang dari Baghdad, tak seorang tahu ke mana. Akhirnya ia diketemukan di sebuah rumah tempat para kasim,1sedang duduk dengan mata basah dan bibir kering di antara makhluk-makhluk aneh ini. Kawan-kawannya berkata, "Ini bukan tempat bagimu yang menuntut ilmu ketuhanan." Ia menjawab, "Orang-orang ini, menurut agama, bukan laki-laki dan bukan pula perempuan. Aku seperti mereka pula. Aku tenggelam dalam keadaan tak bisa berbuat apa-apa, dan kejantananku merupakan sesalan bagiku. Bila kalian menggunakan pujian atau celaan untuk membeda-bedakan, itu berarti, kalian membuat berhala-berhala pujaan. Bila kalian menyembunyikan berhala-berhala di balik khirka kalian, mengapa mesti pula menampakkan diri di muka orang banyak sebagai sufi?"

Pertengkaran Dua Orang Sufi
Dua orang yang mengenakan khirka kaum sufi sedang caci-mencaci di muka pengadilan. Hakim melerai mereka dan berkata, "Tidaklah layak bagi kaum sufi untuk berbantah antara sesama mereka. Jika kalian mengenakan jubah sufi mengapa bertengkar? Jika kalian orang-orang yang suka akan kekerasan, maka buanglah jubah kalian. Tetapi jika kalian layak memakai jubah itu, berdamailah. Aku, seorang hakim dan bukan orang yang menempuh jalan ruhani, merasa malu karena khirka itu. Lebih baik kiranya setuju untuk berbeda pendapat ketimbang bertengkar sementara kalian mengenakan khirka."
Jika kau ingin menempuh jalan cinta, hilangkanlah segala prasangka dan tinggalkan keterikatan pada hal-hal yang bersifat lahiriah. Sementara itu, agar tak menjadi sumber kejahatan, jangan berikan jalan bagi rasa dendam dan cinta-diri!

Raja dan Pengemis
Suatu ketika di Mesir seorang laki-laki malang jatuh cinta pada raja, yang setelah mendengar tentang ini lalu menyuruh panggil orang yang terpedaya itu dan katanya, "Karena kau gandrung padaku, maka kau harus memilih salah satu dari yang dua ini dipenggal kepalamu atau masuk penjara." Orang itu mengatakan bahwa ia lebih suka masuk penjara, dan hampir lupa daratan ia pun siap hendak pergi. Tetapi raja memerintahkan untuk memenggal kepala orang itu. Seorang menteri istana berkata, "Ia tak bersalah; mengapa harus dibunuh?" "Karena," kata raja, "ia bukan pencinta sejati dan tak tulus. Kalau ia sungguh-sungguh mendambakan aku, tentulah ia lebih suka kehilangan kepala ketimbang berpisah dari yang dicintainya. Mestinya cinta itu sepenuhnya atau tidak sama sekali. Sekiranya ia bersedia dihukum bunuh, tentulah aku akan mengenakan ikat pinggang kesetiaanku.2 dan menjadi darwisnya. Ia yang mencintai aku, tetapi lebih mencintai kepalanya sendiri, bukanlah pencinta sejati."

Catatan kaki:
1 Orang yang dikebiri, penjaga sanastri (harem).
2 Maksudnya zunnar, tanda ketulusan di jalan agama. (Lihat catatan kaki pada katazunnar) 


21. Dalih Burung Kelima
Seekor burung lain berkata pada Hudhud, "'Diriku musuhku sendiri; ada maling dalam diriku. Bagaimana dapat aku menempuh perjalanan ini, yang terhalang oleh selera-selera jasmani dan anjing nafsu yang tak mau tunduk? Bagaimana dapat aku menyelamatkan jiwaku? Serigala yang berkeliaran mencari makan itu kukenal, tetapi anjing ini tak kukenal, dan ia begitu menarik. Aku tak tahu di manakah aku dengan badan jasmani yang tak setia ini. Akan dapatkah aku mengerti ini?"
Hudhud menjawab, "Dirimu sendiri anjing tersesat, terinjak-injak kaki. 'Jiwa' yang kaumiliki bermata satu dan juling; hina, kotor dan tak setia. Jika ada yang tertarik padamu, adalah itu karena silau oleh gemerlap palsu 'jiwa'-mu. Tidaklah baik bagi anjing nafsu ini untuk dimanjakan dan digosok dengan berbagai minyak. Selagi kecil, kita lemah dan masa bodoh; waktu remaja, kita sibuk dalam pergulatan: dan ketika usia tua berkuasa, nafsu pun loyo dan badan lemah. Karena demikianlah hidup ini, maka bagaimana anjing ini akan mendapat perhiasan sifat-sifat ruhani? Dari awal hingga akhir kita hidup dengan masa bodoh, dan tak mendapatkan apa-apa. Sering ada yang sampai pada akhir hidupnya hampa tanpa membawa apa-apa dalam dirinya kecuali nafsu akan serba kehidupan lahiriah. Beribu-ribu binasa karena sedih, tetapi anjing nafsu ini tak pernah mati. Dengarkan cerita tentang penggali kubur yang telah menjadi tua dalam pekerjaannya itu. Seseorang bertanya padanya, 'Maukah kau menjawab pertanyaan ini karena kau telah melewatkan seluruh hidupmu dalam pekerjaanmu menggali kubur: Katakan apakah kau pernah melihat keajaiban?' Penggali kubur itu pun berkata, 'Selama tujuh puluh tahun anjing nafsuku telah melihat orang-orang mati yang dikuburkan, tetapi ia sendiri tak pernah mati, dan tak sejenak pun pernah mematuhi hukum-hukum Tuhan. Ini keajaiban'!"

Cerita Kecil tentang Abbasah
Suatu petang, Abbasah berkata, "Bayangkan misalnya orang-orang kafir yang banyak di dunia ini, dan bahkan juga orang-orang dari suatu suku bangsa Turki yang banyak bicara itu dengan tulus menerima agama --yang demikian mungkin saja terjadi. Tetapi seratus dua puluh ribu nabi telah diutus untuk jiwa yang tak beriman itu agar jiwa itu dapat menerima kepercayaan Muslim atau binasa, namun para nabi itu belum berhasil juga. Mengapa begitu banyak ketekunan dan begitu sedikit hasil?"
Kita semua ada di bawah kekuasaan nafsu badan jasmani yang tak setia dan durhaka, yang kita pelihara dalam diri kita.

Dibantu dari dua pihak sebagaimana adanya, maka akan mengherankan bila badan jasmani ini binasa. Jiwa, bagai kesatria yang setia, terus mengendarai kudanya, tetapi senantiasa anjing itu kawannya; kesatria itu mungkin lari di atas kudanya, tetapi si anjing mengikuti. Cinta yang diterima oleh hati diambil oleh badan jasmani. Namun barang siapa dapat menguasai anjing ini akan menangkap singa kedua dunia itu dalam jaringnya.

Seorang Raja Mengajukan Pertanyaan Pada Seorang Darwis
Suatu kali seorang raja melihat seorang laki-laki, yang meskipun berpakaian compang-camping-bertekun di jalan penyempurnaan-diri. Raja memanggil orang itu dan bertanya, "Siapakah yang jelas lebih baik, kau atau aku?" Kata orang itu, "O Tuan yang tak tahu, tebah dada Tuan dan tutup mulut Tuan. Siapa yang memuji diri sendiri tak mengerti akan makna kata-kata; tetapi ini mesti hamba katakan: tak dapat disangsikan lagi bahwa orang seperti hamba ini jelas seratus kali lebih baik ketimbang orang seperti Tuan. Tanpa sedikit pun citarasa keagamaan, anjing nafsu Tuan telah menurunkan derajat Tuan menjadi keledai. Anjing nafsu itu menguasai Tuan dan mengendarai Tuan dengan tali kendali sambil mendorong kepala Tuan ke sana ke mari. Tuan melakukan segala yang diperintahkannya. Tuan orang yang tak berarti dan tak berguna sedikit pun, sedang hamba yang tahu akan kerahasiaan hati telah membuat anjing ini jadi keledai hamba untuk hamba kendarai. Anjing Tuan menguasai Tuan, tetapi jika Tuan mau menjadikannya keledai, maka Tuan pun akan seperti hamba, dan seratus kali lebih baik daripada rekan-rekan Tuan."

22. Dalih Burung Keenam
Seekor burung lain berkata pada Hudhud, "Kapan aku ingin menempuh Jalan itu setan menimbulkan rasa kesia-siaanku dan menghalangi aku mencari penunjuk jalan. Hatiku risau, karena aku tak berdaya melawannya. Bagaimana dapat aku menyelamatkan diriku dari Iblis dan menjadi bergairah karena anggur jiwa?"
Hudhud menjawab, "Selama anjing nafsu itu lari di mukamu, setan tak akan meninggalkanmu, tetapi akan menggunakan pikatan anjing itu untuk menyesatkanmu. Maka setiap keinginan nafsumu yang sia-sia pun menjadi setan, dan setiap setan yang ditimbulkannya akan menimbulkan seratus setan yang lain. Dunia ini bilik yang panas berkeringat atau penjara, kerajaan sang setan; jangan mengikatkan diri dengan kerajaan ini atau dengan penguasanya.
Keluhan Seorang Mubtadi.1 atas Godaan Setan
Seorang muda yang bersikap masa bodoh pergi mendapatkan seorang syaikh yang sedang berpuasa hendak menyampaikan keluhan atas empat puluh godaan setan. Katanya, "Setan menjauhkan aku dari Jalan itu dan telah membuat agamaku menjadi tak berarti." Syaikh itu berkata, "Anakanda sayang, sebelum kau datang padaku kulihat setan itu berkeliaran di seputarmu. Sebaliknya dari apa yang kau katakan itu, ia merasa risau dan bingung karena kau telah menyengsarakannya dan katanya padaku, 'Seluruh dunia ini kerajaanku, tetapi aku tak berdaya terhadap orang muda itu yang menjadi lawan dunia.' Katakan pada setan itu supaya berlalu, maka ia pun tak akan menggodamu lagi."

Khoja dan Sufi
Seorang sufi mendengar seorang khoja.2 mengucapkan doa ini, "O Tuhan, beri hamba rahmat, dan berkatilah usaha-usaha hamba," lalu berkata pada khoja itu, "Janganlah mengharapkan rahmat bila kau tak mengenakan khirka seorang sufi. Kau telah menengadahkan mukamu ke langit dan pada keempat dinding emas.3 Kau dilayani sepuluh hamba laki-laki dan sepuluh hamba perempuan. Bagaimana rahmat Ilahi akan datang padamu dengan diam-diam? Hendaklah kau mawas diri dan tiliklah apakah kau layak mendapat berkat.
Karena kau berdoa demi milik dan kehormatanmu, rahmat itu akan menyembunyikan wajahnya. Berpalinglah dari semua itu, dan bebaskan dirimu, sebagaimana orang-orang yang telah mencapai kesempurnaan."

Catatan kaki:
1 Pemula, orang yang baru mulai menuntut pelajaran
2 Saudagar (dari India).
3 Keempat dinding emas, maksudnya: keempat mata angin.


23. Dalih Burung Ketujuh
Seekor burung lain berkata pada Hudhud, "Aku cinta akan emas; bagiku ia seperti buah badam dalam kulitnya yang keras itu. Bila aku tak punya emas, terikat rasanya tangan dan kakiku. Cinta akan keduniawian dan cinta akan emas telah mengisi diriku dengan keinginan-keinginan tak berarti, yang membutakan diriku akan perkara-perkara keruhanian."
Hudhud menjawab, "O kau yang silau karena bentuk-bentuk lahiriah, yang dalam hatimu tak pernah memancar nilai kebenaran! Kau seperti makhluk yang hanya dapat melihat dalam gelap, kau seperti semut, yang tertarik oleh rupa. Berusahalah memahami makna segala sesuatu. Tanpa warna, emas hanyalah, logam biasa; namun kau terpikat oleh warna, serupa anak kecil. Cinta akan emas tak layak bagi manusia sejati; kenapa orang menyembunyikan emas dalam faraj bagal?1 Adakah benda-benda berharga disembunyikan orang di tempat demikian? Jika kau tak membiarkan sesamamu mendapat manfaat karena emasmu, kau pun tak akan beroleh manfaat pula. Tetapi bila kau berikan sekeping obol2 kepada si malang yang miskin, kalian berdua akan mendapat manfaat. Jika kau punya emas, banyaklah yang dapat kauberi manfaat dengan itu; tetapi jika pundakmu bercap,3 itu pun karena emas juga. Untuk sebuah toko, kau harus membayar sewa dan kadang-kadang harganya itu jiwamu sendiri. Demi usahamu, kau korbankan apa saja, juga mereka yang menjadi pautan hatimu, dan pada akhirnya kau tak memiliki apa-apa. Kita hanya berharap agar kemujuran akan menyediakan sebuah tangga di bawah tiang gantungan. Itu tak berarti bahwa kau tak usah menggunakan benda-benda duniawi sama sekali, tetapi hendaknya kaupergunakan apa yang kaumiliki itu secara luas. Nasib baik hanya akan datang padamu apabila kau memberi. Jika kau tak dapat meninggalkan hidup sama sekali, setidak-tidakaya kau dapat membebaskan dirimu dari cin ta akan kekayaan dan kehormatan."


Syaikh dan Muridnya
Seorang murid yang masih muda, tak diketahui syaikhnya (seperti dikiranya) mempunyai sekedar simpanan emas. Syaikh itu tak berkata apa-apa, dan suatu hari mereka pergi bersama-sama dalam suatu perlawatan. Akhirnya mereka sampai ke sebuah lembah yang gelap; di tempat masuk ke lembah itu terbentang dua jalan. Si murid mulai khawatir, sebab emas (memang) merusak pemiliknya. Gemetar ia pun bertanya pada syaikhnya, "Jalan mana yang mesti kita tempuh?" Syaikh itu menjawab, "Bebaskan dirimu dari apa yang membuatmu khawatir itu, maka jalan mana pun tak menjadi soal. Setan takut akan orang yang tak mempedulikan uang, dan cepat akan menghindar daripadanya. Demi sebutir emas kau membelah sehelai rambut. Secara agama, emas seperti keledai yang lumpuh; tak ada harganya, hanya merupakan beban. Bila kekayaan datang pada seseorang dengan tak disangka-sangka, mula-mula akan membuatnya bingung, kemudian menguasainya. Ia yang terikat dengan cinta akan uang dan harta milik, terikatlah tangan dan kakinya dan dilontarkan ke dalam lubang-penjara. Hindarilah lubang penjara yang dalam ini jika kau bisa; jika tidak, tahan nafasmu, sebab udara didalamnya amat luar biasa pengapnya."


Tuhan Menegur Seorang Darwis
Seorang suci yang telah menemukan ketenteraman dalam Tuhan menyerahkan seluruh dirinya dalam sembah dan puja selama empat puluh tahun. Ia telah melarikan diri dari dunia ini, tetapi karena Tuhan begitu mesra menyatu padanya, orang itu pun merasa puas. Darwis ini telah memagari sebidang tanah di gurun; di tengah-tengahnya ada sebatang pohon, dan di pohon itu seekor burung telah membuat sarangnya. Nyanyian burung itu merdu terdengar, karena setiap nadanya mengandung seratus rahasia. Hamba Tuhan itu terpesona. Tetapi Tuhan menyampaikan pada seorang arif tentang ihwal peristiwa itu dengan kata-kata ini, "Katakan pada sufi itu bahwa aku heran setelah berkhusyuk selama bertahun-tahun, ia telah berhenti dengan menjual aku seharga seekor burung. Memang benar burung itu mengagumkan, tetapi nyanyiannya telah menjerat sufi itu dalam sebuah perangkap. Aku telah membeli dia dan dia telah menjual aku."

Catatan kaki:
1 Dikiaskan dengan kebiasaan di Timur di mana wanita-wanita membawa surat-surat atau benda-benda kecil yang berharga secara sembunyi-sembunyi dalam faraj (lubang kemaluan) bagal (peranakan kuda dan keledai).
2 Mata uang kecil yang dipergunakan dahulu kala di Timur Dekat dan Eropa.
3 Di Persia, pencuri diberi cap pada pundaknya.


24. Dalih Burung Kedelapan
Seekor burung lain berkata pada Hudhud, "Hatiku menyala karena gembira, sebab aku tinggal di sebuah tempat yang menawan. Aku punya istana emas teramat indah hingga siapa saja mengaguminya, dan di sana aku hidup dalam kepuasan. Bagaimana mungkin aku diharapkan untuk meninggalkannya? Di istana ini aku seperti raja burung-burung, maka mengapa pula aku bersusah payah di lembah-lembah yang kausebutkan itu? Mestikah aku meninggalkan istanaku dan kedudukanku sebagai raja? Tiada makhluk yang berpikiran sehat akan meninggalkan taman Iram untuk menempuh perjalanan yang begitu berat dan sulit!"

Hudhud menjawab, "O kau yang tanpa cita-cita dan semangat! Adakah kau anjing? Atau inginkah kau menjadi pelayan dalam hammam? Dunia bawah ini hanyalah sebuah bilik panas dan istanamu sebagian daripadanya. Meski istanamu sebuah sorga sekalipun, namun pada suatu hari maut akan mengubahnya menjadi penjara penderitaan. Hanya jikalau maut berhenti menggunakan kekuasaannya atas segala makhluk akan baiklah bagimu untuk tinggal puas di istana emasmu."

Seloroh Seorang Arif tentang Sebuah Istana
Seorang raja mendirikan sebuah istana yang menghabiskan biaya seratus ribu dinar. Di sebelah luar, istana itu dihiasi dengan menara-menara dan kubah-kubah yang bersepuhkan emas, sedang perabotan dan permadani-permadani membuat ruang dalamnya seperti sorga. Ketika istana itu selesai didirikan, raja mengundang orang-orang dari setiap negeri untuk mengunjunginya. Mereka datang dan memberikan hadiah-hadiah, dan dipersilakannya mereka semua duduk bersamanya. Kemudian raja itu pun bertanya pada mereka, "Katakan bagaimana pendapat Tuan sekalian tentang istanaku. Adakah sesuatu yang terlupa, yang merusakkan keindahannya?" Semuanya menyatakan bahwa belum pernah ada istana semacam itu di dunia dan tak mungkin ada kembarannya lagi. Semua menyatakan demikian, Kecuali satu, seorang arif, yang bangkit berdiri dan berkata, "Ada satu celah kecil yang menurut pendapat hamba merupakan cacat, Tuanku. Andaikan tak ada cacat ini, sorga itu sendiri pun akan memberikan hadiah-hadiah pada Tuanku dari dunia gaib."

"Aku tak melihat cacat ini," kata raja murka. "Kau orang bodoh, dan kau hanya ingin membuat dirimu tampak penting." "Tidak, Raja yang sombong," jawab orang arif itu. "Celah yang kusebutkan itu ialah celah yang akan dilalui Izrail, malakulmaut, bila ia datang nanti. Semoga Tuhan berkenan, Tuanku dapat menutup celah itu, sebab jika tidak, apakah gunanya istana, mahkota dan singgasana Tuanku yang megah itu? Bila maut datang, semua itu akan menjadi bagai segenggam debu. Tak satu pun yang tetap bertahan lama, dan celah itulah yang akan merusakkan tempat semayam Tuanku. Tiada kepandaian dapat membuat tetap apa yang tak tetap. Ah, jangan letakkan harapan kebahagiaan Tuanku pada istana! Jangan biarkan kuda kebanggaan Tuanku melata bagai siput. Jika tak seorang pun berani mengatakan terus terang pada raja dan memperingatkannya tentang kesalahan-kesalahan ini, maka ini akan merupakan malapetaka yang besar."

Laba-Laba
Pernahkah kau memperhatikan laba-laba dan mengamati betapa mengagumkan ia menggunakan waktunya? Dengan kecepatan dan kewaspadaan ia menganyam jaring-sarangnya yang menakjubkan itu, sebuah rumah yang dihiasinya untuk keperluannya. Bila lalat jatuh tertungging ke dalam jaring itu, laba-laba itu buru-buru menyergapnya mengisap darah makhluk kecil itu dan membiarkan bangkai itu mengering untuk digunakannya sebagai makanannya. Kemudian datang penghuni rumah dengan membawa sapu, dan dalam sekejap saja, jaring-sarang, lalat dan laba-laba itu pun lenyap ketiga-tiganya!
Jaring laba-laba itu melambangkan dunia; lalat itu, rizki yang telah diberikan Tuhan di sana bagi makhlukNya. Andaikan seluruh dunia sekalipun jatuh ke tanganmu, kau dapat kehilangan semua itu dalam sekejap saja. Kau hanya bayi di jalan pengertian; namun kau berdiri sia-sia di luar tabir. Jangan tuntut tempat dan kedudukan jika kau tidak bodoh. Dan ketahuilah, hai pandir yang tak peduli, bahwa dunia ini diserahkan pada lembu jantan. Ia yang memandang genderang dan bendera sebagai tanda keagungan tak akan pernah menjadi darwis; benda-benda itu hanyalah siul angin lebih kecil nilainya daripada mata uang terkecil. Tahanlah kuda kebodohanmu yang melata bagai siput itu, dan janganlah terpedaya karena memiliki kekuasaan. Bila macan tutul itu sudah terkuliti, maka hidupmu pun akan terenggut hilang. Bukalah mata cita-cita yang sejati dan temukan Jalan Kerohanian itu; langkahkan kakimu di Jalan Tuhan dan carilah istanaNya yang luhur. Sekali kau melihatnya, maka kau tak akan terikat lagi pada gemerlap dunia ini.


Darwis yang Menjauhi Manusia
Seorang laki-laki, lelah dan kehilangan semangat, letih karena berjalan di gurun, akhirnya tiba di suatu tempat di mana seorang darwis yang hidup seorang diri berdiam, lalu berkata padanya, "O Darwis, bagaimana keadaanmu?" Darwis itu menjawab, "Tidakkah kau malu menyampaikan pertanyaan demikian bila di sini aku tinggal di suatu tempat yang begitu sempit dan terkurung?" Orang itu berkata, "Itu tidak betul, bagaimana kau akan terkurung, tinggal di gurun yang luas ini?" Darwis itu berkata lagi, "Jika dunia tidak sedemikian sempit, kau tak akan pernah menyinggahi aku!"

25. Dalih Burung Kesembilan
Seekor burung lain berkata pada Hudhud, "O burung termulia, aku hamba si jelita yang telah menguasai diriku dan membuat aku kehilangan pikiran. Bayangan wajahnya yang manis ialah pencuri di Jalan yang agung itu; dia telah membakar panenan hidupku, dan bila aku terpisah daripadanya, tak sejenak pun aku merasa tenteram. Karena hatiku menyala dengan gairah nafsu, aku pun tak tahu bagaimana aku dapat menempuh perjalanan ini. Aku harus melintasi lembah demi lembah dan menempuh seratus percobaan. Dapatkah aku diharapkan akan meninggalkan si jelita ini untuk pergi menempuh panas yang menghanguskan dan dingin yang pedih? Aku terlalu lemah untuk pergi tanpa dia; dan aku hanya debu di jalannya. Begitulah keadaanku. Apa dayaku?"

Hudhud menjawab, "Kau terikat pada apa yang tampak di mata saja, dan akibatnya, menderita dari kepala hingga kaki. Cinta berahi ialah suatu permainan. Cinta yang ditimbulkan oleh kecantikan yang sepintas dengan sendirinya cepat berlalu pula. Kau senantiasa membandingkan tubuh dari darah dan nafsu dengan keindahan bulan.
Apakah yang lebih buruk dari tubuh yang terjadi dari daging dan tulang-tulang? Keindahan sejati tersembunyi. Maka carilah itu, di dunia yang tak tampak di mata. Jika cadar yang menyembunyikan kerahasiaan ini dari pandangan matamu luruh, maka tak ada lagi yang tinggal di dunia ini. Segala bentuk yang kelihatan akan menjadi tak berarti."


Cerita Kecil tentang Syabli
Seorang laki-laki datang mendapatkan Syabli pada suatu hari sambil menangis. Sufi itu bertanya padanya, mengapa menangis. "O Syaikh," katanya, "aku mempunyai sahabat yang keindahannya membuat jiwaku sehijau ranting-ranting di musim semi. Kemarin, ia meninggal, dan aku pun mau mati pula rasanya karena duka." Syabli berkata, "Kenapa kau bersedih? Sekian lama kau telah memilikinya sebagai sahabat. Kini pergilah dan cari sahabat lain, sahabat yang tak akan mati, maka tak akan ada lagi sebab yang membuat kau bersedih. Keterikatan akan sesuatu yang fana hanya akan mendatangkan duka."

Saudagar Kaya
Seorang saudagar yang kaya akan barang-barang dan uang mempunyai sahaya perempuan yang manis bagaikan gula. Namun demikian, ia memutuskan pada suatu hari untuk menjualnya. Tetapi sebentar saja ia pun mulai merasa kehilangan dia. Dalam kerinduannya, ia pun pergi ke pemiliknya yang baru dan memintanya agar melepaskan sahaya itu, lalu ia menawarkan seribu keping emas untuk menebusnya. Tetapi pemiliknya yang baru itu tak mau berpisah dari si sahaya. Maka saudagar itu pun keluar, dan dalam kebingungan katanya, "Ini salahku sendiri, karena telah menjahit bibir dan mataku; dalam kerakusanku aku telah menjual kekasihku seharga sekeping emas. Saat itu hari buruk bagiku ketika aku mendandaninya dengan pakaiannya yang terbagus dan membawanya ke pasar untuk kujual dengan keuntungan yang banyak."

Setiap nafasmu, yang menakar hidupmu, ialah sebutir mutiara, dan setiap zarrah dirimu ialah penunjuk jalan kepada Tuhan. Berkah sahabat ini meliputi dirimu dari kepala hingga kaki. Jika kau benar-benar mengindahkan dia, bagaimana dapat kau menunjang perpisahan?


Cerita Kecil tentang Hallaj
Ketika mereka hendak menusuknya dengan tombak, Hallaj hanya mengucapkan kata-kata ini, "Aku Tuhan." Mereka potong tangan dan kakinya, hingga ia pun menjadi pucat karena kehilangan darah. Kemudian pergelangan tangannya yang sudah buntung itu ia usapkan ke wajahnya sambil berkata, "Tak perlu aku kelihatan pucat hari ini, karena jika demikian, mereka akan mengira bahwa aku takut. Akan kubuat mukaku merah sehingga apabila si orang terkutuk yang telah melaksanakan hukuman itu berpaling ke tiang gantungan, ia akan melihat bahwa aku seorang pemberani.'
Ia yang makan dan minum dalam bulan Juli bersama naga berkepala tujuh itu akan bernasib amat buruk dalam permainan demikian, tetapi tiang gantungan akan merupakan sesuatu yang amat tak berarti bagi dia.


26. Dalih Burung Kesepuluh
Burung ini berkata pada Hudhud, "Aku takut akan maut. Kini lembah ini luas, dan aku tak punya apa-apa sama sekali untuk perjalanan ini. Aku amat diliputi ketakutan akan maut sehingga aku akan mati di tempat perhentian pertama. Andaikan aku seorang amir yang penuh kuasa sekalipun, pada saat datangnya ajal, akan tak kurang juga ketakutanku. Ia yang dengan pedangnya mencoba menangkis maut, akan mendapatkan pedangnya itu patah bagai sebatang kalam; sebab sayang, kepercayaan akan kekuatan tangan dan pedang hanya akan membawa kekecewaan dan kesedihan."

Hudhud menjawab, "O kau yang lembek dan lemah kemauan, inginkah kau tinggal hanya sebingkai tulang dan sumsum semata? Tidakkah kau tahu bahwa hidup ini, baik panjang atau singkat, tercipta dari sekelumit nafas? Tidakkah kau mengetahui bahwa barangsiapa dilahirkan harus mati pula? Bahwa ia akan masuk tanah dan bahwa angin akan mencerai-beraikan unsur-unsur yang membentuk tubuhnya?
Kau diberikan pada maut sebagai santapannya; dan kau dimasukkan ke dunia untuk disingkirkan dari sana pula! Langit bagai pinggan terbalik, yang setiap senja tercelup dalam darah matahari terbenam. Dapat dikatakan bahwa matahari itu, bersenjatakan pedang bengkok, tengah memenggal kepala demi kepala di pinggan ini. Apakah kau baik atau buruk, kau hanyalah setitik air dicampur dengan tanah. Meskipun sepanjang hidupmu kau mungkin ada dalam kedudukan yang penuh kekuasaan, pada akhirnya kau akan mengalami bencana kematian juga."

Feniks
Feniks.1 seekor burung yang mengagumkan dan indah, hidup di India. Ia tak punya jodoh dan hidup sendirian. Paruhnya, yang amat panjang dan keras, dilubangi bagai seruling dengan hampir seratus lubang. Setiap lubang itu mengeluarkan suara dan dalam setiap suara itu ada kerahasiaan tersendiri. Kadang ia memperdengarkan musik lewat lubang-lubang itu, dan bila burung-burung dan ikan-ikan mendengar lagunya yang sayu merdu itu, mereka pun terbangkit, dan hewan-hewan paling ganas pun terharu; kemudian mereka semua terdiam. Seorang filsuf suatu kali menengok burung ini dan belajar dari dia tentang ilmu musik. Feniks itu hidup sekitar seribu tahun dan ia tahu pasti akan hari kematiannya. Bila saatnya tiba, ia kumpulkan di seputarnya sejumlah daun-daun palma, dan kebingungan di antara daun-daun itu, ia pun melengkingkan jeritan-jeritan yang sayu. Dari lubang-lubang dalam paruhnya dipancarkannya beragam lagu, dan musik ini terangkat dari dasar hatinya. Ratapan-ratapannya menyatakan dukacita kematian, dan ia pun menggigil bagai sehelai daun. Mendengar terompetnya burung-burung dan hewan-hewan mendekat untuk memberikan bantuan pada peristiwa besar ini. Kini mereka pun menjadi bingung, dan banyak yang mati karena kehilangan tenaga. 

Sementara feniks itu masih bernafas, dikepak-kepakkannya sayapnya dan dikerutkannya bulu-bulunya, dan dengan demikian ia memancarkan api. Api itu menjalar ke daun-daun palma, dan segera daun-daun dan burung itu pun menjadi bara yang hidup dan kemudian menjadi abu. Tetapi ketika bunga-api penghabisan telah padam, seekor feniks kecil yang baru timbul dari abu itu.
Pernahkah terjadi pada siapa pun peristiwa dilahirkan kembali sesudah mati itu? Andaikan kau hidup sama lamanya dengan feniks itu sekalipun, namun kau akan mati juga bila kadar hidupmu sudah ditentukan. Hidup feniks yang seribu tahun itu penuh dengan ratapan dan ia tinggal sendirian tanpa kawan dan anak, dan tak berhubungan dengan siapa juga. Ketika saat akhir itu tiba, ia membuang abunya sama sekali, sehingga dapatlah kauketahui bahwa tiada siapa pun dapat menghindari kematian, meski ia mempergunakan muslihat apa pun. Maka ambil pelajaran dari keajaiban feniks itu. Maut ialah tiran, namun kita harus selalu ingat akan maut itu. Dan meskipun banyak yang mesti kita derita, namun tak ada yang dapat dibandingkan dengan keadaan hendak mati itu.


Nasihat Tai Waktu Hendak Meninggal
Ketika Tai terbaring hampir meninggal, seseorang bertanya padanya, "O Tai, kau telah mengetahui hakikat segala sesuatu, bagaimana keadaanmu sekarang?" Katanya, "Aku tak dapat mengatakan apa-apa tentang keadaanku. Seperti angin aku telah mengembara ke mana-mana selama hidupku, dan kini saat akhir itu akan segera tiba, dan aku akan dikuburkan, maka, selamat malam."
Tiada obat pencegah maut selain menatapnya senantiasa dengan berani. Kita semua dilahirkan untuk mati; hidup tak akan tinggal bersama kita; kita harus tunduk. Bahkan dia yang menguasai dunia di bawah cap cincinnya, kini hanya merupakan barang tambang dalam tanah.2 

Isa dan Kendi Berisi Air
Isa minum air dari sebuah sungai jernih yang rasanya lebih nyaman dari embun pada bunga mawar. Salah seorang pengikutnya mengisi kendi dengan air sungai itu, dan mereka pun pergi meneruskan perjalanan. Karena haus, Isa minum seteguk air dari kendi itu, tetapi air itu terasa pahit, dan ia tertegun heran, lalu berdoa, "O Tuhan, air sungai dan air dalam kendi ini sama. Tetapi mengapakah yang satu lebih manis dari madu dan yang lain begitu pahit?" Lalu kendi itu pun bicara, dan katanya pada Isa, "Aku sudah amat tua, dan bentukku sudah diubah-ubah seribu kali di bawah bentangan kubah yang sembilan ini -- kadang sebagai jambangan, kadang sebagai kendi dan kadang sebagai bejana. Bentuk apa pun yang ada padaku, selalu kumiliki dalam diriku kepahitan maut. Aku dibuat sedemikian rupa sehingga air yang kusimpan akan selalu ikut mengandung kepahitan itu."
O makhluk yang masa bodoh! Berusahalah memahami arti kendi itu. Berusahalah menemukan rahasia itu sebelum kau mati. Jika selagi kau hidup, kau tak dapat menemukan dirimu sendiri, mengenal dirimu sendiri, bagaimana kau akan dapat memahami rahasia hidupmu bila kau mati? Kau ikut serta dalam kehidupan makhluk, namun kau hanya makhluk semu.


Socrates Kepada Murid-Muridnya
Ketika Socrates hampir meninggal, salah seorang muridnya berkata padanya, "Guru, setelah Guru kami mandikan dan kami selubungi kain kafan, di manakah Guru ingin kami kuburkan?" Socrates menjawab? "Jika kautemukan diriku, muridku tercinta, kuburkan aku di mana kau suka, dan selamat malam! Mengingat bahwa dalam hidupku selama ini aku tak menemukan diriku sendiri, bagaimana kau akan menemukan diriku waktu aku mati? Aku telah hidup dengan laku sedemikian rupa sehingga pada saat ini aku hanya tahu bahwa sejemput pengetahuan tentang diriku sendiri tidaklah jelas."


Catatan kaki:
1 Juga ditulis: Phoenix; burung dalam dongeng, yang membakar dirinya sendiri dalam unggun-api dari kayu yang semerbak harum baunya dan dinyalakan oleh panas matahari; tetapi dari abunya timbul kembali feniks muda.
2 Maksudnya, Nabi Sulaiman.
_________________________________
Bersambung.. ke Part 04
thumbnail
Judul: Musyawarah Burung (Part 03)
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh

Artikel Terkait Hikayah :

0 komentar:

Post a Comment

 
Copyright © 2013. About - Sitemap - Contact - Privacy
Template Seo Elite oleh Al Fikr Publisher FreTempl