Friday, 6 March 2015

Karakter Kita yang Mana?


Dinda Sharing - Dalam kehidupan Kita  bisa melihat jelas segala peristiwa yang terjadi di depan mata, tetapi belum tentu bisa dengan jelas melihatnya dengan hati sehingga benar dan bijak. Seringkali oleh rasa suka dan tidak suka atau emosi justru membutakan mata hati kita. Karena teman akrab atau kerabat, walau salah tetap mati-matian membelanya. Bukannya menasehati. Sebab tak menyukai orang tersebut, walau yang dilakukan adalah hal yang benar dan baik tetap saja mencibirnya. Hati kita tak rela memberikan apresiasi atau pujian apalagi mengambil sebagai teladan.



Berikut ini sebuah kisah yang semoga menjadi renungan bersama untuk kita....


Pada suatu malam, seorang buta hendak berpamitan pulang dari mengunjungi sahabatnya yang sedang mengalami sakit.

"Hei sobat, aku pulang dulu ya, cepat sembuh aja deh biar lain kali kita bisa ngobrol lebih lama lagi."

"'Bentar, aku ambilin lentera dulu buat kamu ya," sahut temannya.

"Hahaha....buat apa lentera? Lentera segede orang pun aku juga nggak bisa lihat. Sudahlah, aku pasti bisa pulang kok!"

"Di luar sudah gelap. Lentera ini untuk orang lain supaya bisa melihat kamu, agar mereka tidak menabrakmu," jawab sahabatnya dengan lembut.

Akhirnya si buta pun membawa lentera itu dalam perjalanan pulangnya.

Tak berapa lama, ada seorang pejalan kaki yang menabraknya. Dalam kagetnya dia berseru:

"Hai! Kamu kan punya mata, beri jalan buat orang buta dong!"

Si penabrak tidak ambil peduli, dan berlalu begitu saja.

Tidak terlalu jauh berjalan, seorang pejalan lainnya kembali menabrak si buta. Kali ini si buta mengumbar marahnya.

"Hai! Apa kamu buta? Tidak bisa melihat ya? Aku membawa lentera ini supaya kamu bisa lihat dan tidak nabrak orang."

Pejalan kaki itu dengan sengit menjawab,"Kamu yang buta! Lihat tuh, lenteramu padam!"

Keduanya sama-sama tertegun.

Si penabrak yang menyadari situasi segera berkata, "Oh oh, maaf. Sayalah yang 'buta', saya sungguh tidak melihat kalau Anda adalah orang buta."

"Tidak, tidak apa. Saya tidak tahu kalau lentera ini padam. Maafkan kata-kata2 kasar saya," jawab si buta tersipu malu.

Dengan tulus, si penabrak membantu menyalakan kembali lentera yang dibawa si buta, dan kemudian mereka pun melanjutkan perjalanan masing-masing.

Pada saat yang bersamaan, seorang pejalan kaki kebetulan berada di dekat situ. Dalam keremangan malam, nyaris saja dia menabrak mereka. Dalam hati dia berkata, "Rasanya lain kali aku harus membawa sebuah lentera juga. Jadi aku bisa melihat jalan dengan baik dan orang lain juga bisa ikut melihat jalan mereka."

Sahabatku,

Cerita tadi sesungguhnya mewakili berbagai karakter manusia. Si buta diselubungi kegelapan batin, keangkuhan, ego, dan kemarahan. Selalu menunjuk ke arah orang lain dan tidak mau mengakui kebebalannya. Tetapi di dalam perjalanan "pulang", dia belajar menjadi bijak. Ia menjadi lebih rendah hati karena menyadari kebutaannya dan adanya belas kasih dari pihak lain. Ia juga belajar menjadi pemaaf.


Penabrak Pertama Mewakili Ketidakpedulian dan Kurang Kesadaran - Rasa Suka dan Tidak Suka

Bukan rahasia lagi dalam hidup ini oleh karena suka dan tidak suka sering membutakan diri kita. Tidak bisa lagi melihat dengan benar. Tak heran yang salah dibela, yang benar dicela. Mata hati bisa melihat bila yang dilakukan oleh orang yang kita suka salah. Namun kita selalu mencari pembenaran, sehingga yang salah pun menjadi benar. Dengan kata lain kita membutakan mata hati kita dengan lebih menggunakan kaca mata keegoan. Sebaliknya oleh sebab rasa tidak suka atau benci kita pun tak segan membutakan mata hati. Apa pun yang dilakukan orang yang kita benci pasti selalu salah. Tidak tersisa ruang hati untuk menerima hal baik darinya. Kebutaan hati tak bisa membuat kita jujur dengan apa yang terjadi. Standarnya hanya kalau saya suka itu yang benar dan yang saya benci pasti salah. Kalau sejenak mau jujur. Bukankah saya dan Anda, para sahabat yang membaca sedikit banyak pernah melakukannya?

Penabrak Kedua Mewakili Kondisi Manusia Pada Umumnya - Emosi yang Membutakan

Emosi yang tak terkendali tak jarang menjadi biang keladi yang membutakan hati kita. Oleh emosi kita tak lagi bisa membedakan salah atau benar. Pokoknya salah. Oleh emosi bisa membakar kebajikan. Emosi bisa menjadikan kita menderita. Misalnya dalam keadaan emosi kita mengambil keputusan, maka keegolah yang berbicara. Sebab mata hati telah terbutakan. Tak heran keputusannya bukan hanya merugikan diri sendiri tapi juga orang lain. Bukan hanya menyakiti diri sendiri, orang lain pun tersakiti. Herannya emosi ini seakan tak pernah meninggalkan diri kita walau kita sesungguhnya sudah tak sudi. Apalagi tekanan hidup dan suasana begitu mudah memancing emosi ini keluar. Tanpa sadar terbakar, hanya saat menyadari kesalahan, segera meminta maaf dan berusaha memperbaikinya.


Begitulah, walau mata ini tidak buta tapi emosi yang masih tak terkendali seringkali membutakan hidup kita. Emosi bisa membuat kita saling tusuk, saling bermusuhan. Emosi membuat pekerjaan dan rumah tangga berantakan. Emosi bisa mengantarkan kita ke tempat yang bernama penjara. Bukankah sudah banyak bukti?


Dinda Sharing - Lentera melambangkan sinar dan terang!!! Dalam bahasa spiritual melambangkan sebagai kebijaksanaan. Setiap manusia selayaknya menjadi lentera dan terang bagi dirinya sendiri, mampu melindungi diri sendiri, menghindarkan diri dari mara bahaya serta membawa terang bagi insan di sekitarnya.

Karena sesungguhnya, sejuta lentera dapat dinyalakan dari sebuah lentera, tanpa meredupkan sedikit pun terang cahayanya. Demikian pula dengan lentera kebijaksanaan, takkan pernah habis terbagi.


Semoga bermanfaat dan mari bersama memperbaiki diri..!
thumbnail
Judul: Karakter Kita yang Mana?
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh

Artikel Terkait Hikmah dan Renungan :

0 komentar:

Post a Comment

 
Copyright © 2013. About - Sitemap - Contact - Privacy
Template Seo Elite oleh Al Fikr Publisher FreTempl