Friday 9 October 2015

Wajib, Makrumah, Atau Sunnah Hukum Khitan Perempuan?

Dinda Sharing - Khitan bagi wanita juga disyariatkan sebagaimana halnya bagi pria. Memang, masih sering muncul kontroversi seputar khitan bagi wanita, baik di dalam maupun di luar negeri. Perbedaan dan perdebatan tersebut terjadi karena berbagai alasan dan sudut pandang yang berbeda. Yang kontra bisa jadi karena kurangnya informasi tentang ajaran Islam, kesalahan penggambaran tentang khitan yang syar’I bagi wanita, dan mungkin juga memang sudah antipati terhadap Islam.

Agama Islam adalah agama yang universal. Agama yang aturan-aturan di dalamnya tidak hanya mengarah pada skala kecil saja, tapi juga tidak melulu mengatur skala yang besar. Agama yang juga tidak memaksakan kepada manusia untuk memeluknya. Terbukti, ketika Nabi Muhammad ﷺ. masih hidup, dalam bersosialisasi Beliau tidak sewenang-wenang memperlakukan orang-orang kafir untuk masuk Islam. Namun, metode ramahlah yang beliau kenalkan. Meskipun tidak ada paksaaan untuk memeluknya, tidak berarti pengikut agama itu sedikit. Justru tidak sedikit yang masuk Islam, disebabkan hatinya telah terketuk. Karena mereka merasa bahwa Islam adalah agama yang damai.

Manusia dengan beragam kepribadiannya, dalam menanggapi Islam pasti tidak sama. Secara lahiriyah, dimungkinkan karena mereka telah mempunyai tradisi masing-masing. Seperti menyembah pepohonan, matahari, patung, dan lain sebagainya. Dengan ditambah tradisi yang sudah mendarah daging itu, semakin saja membuatnya membenci kepada Islam. Sementara dalam Islam sendiri, tradisi semacam itu tidak pernah ditemui. Mereka sulit meninggalkan tradisi itu, mungkin juga karena takut dikecam sebagai penghianat suku. Karena menurut William H. Haviland, tradisi atau budaya itu sendiri adalah seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh anggota masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya, akan melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat diterima oleh semua masyarakat. Dengan demikian, tradisi bisa dikatakan sebuah tindakan yang dipandang layak menurut standar khalayak umum, dengan tanpa melirik kebenarannya dari sudut pandang yang lain.

Sering kali aturan atau hukum Islam dipertanyakan. Bukan mempertanyakan karena ingin tahu, namun lebih karena ada unsur ragu pada ketentuan yang telah dirumuskan ratusan tahun yang lalu oleh para ulama yang sudah dijamin tentang kapabilitasnya. Mereka yang meragukan itu mencoba menilik yuridis dengan wacana baru, seperti dalam masalah sirkumsisi (khitan) untuk kaum hawa. Sekarang ada yang mengatakan bahwa sirkumsisi untuk perempuan adalah sebuah tradisi, bukan anjuran dalam sebuah agama. Dan ada juga yang mengatakan, bahwa sirkumsisi untuk perempuan itu tidak ada manfaatnya sama sekali, alias sangat rugi sekali bagi yang telah melakukannya.

“Jika khitan (perempuan) mempunyai manfaat, maka tradisi ini dapat dilanjutkan. Dan apabila tidak ada manfaatnya, maka dapat dihentikan tanpa adanya ancaman syariat bagi yang meninggalkannya ataupun pujian syariat bagi yang melakukannya. Khitan untuk laki-laki diwajibkan karena menyebabkan tidak sahnya shalat, dikarenakan ada indikasi tersimpannya najis yang berada di alat kelamin yang belum dipotong. Walaupun najis yang berada pada alat kelamin laki-laki masih diperdebatkan, apakah termasuk bagian dalam, seperti kotoran yang masih berada di dalam perut atau bagian luar,” demikian paparan salah seorang yang mengatakan bahwa sirkumsisi atau sunat bagi kaum hawa merupakan tradisi.

Hal demikian ini tentunya akan mengundang kegemparan. Dan yang pasti akan ada pro dan kontra dalam menanggapi probematika ini. Yang pro akan mengajukan beberapa argumennya sesuai dengan keinginannya, begitu juga sebaliknya. Dan mestinya, akan banyak pula hujatan-hujatan yang bertubi-tubi untuk masing-masing kelompok yang menyatakan ideologinya itu.


Sebenarnya, dalam permasalahan sirkumsisi (laki-laki dan perempuan) ini sudah lama sekali didiskusikan dalam turats. Satu pendapat mengatakan, bahwa sirkumsisi merupakan kesunahan, dan yang lain mengatakan sirkumsisi adalah wajib. Beliau-beliau para ulama, walaupun masih pro dan kontra, tidak ada satupun yang mengeluarkan statemen bahwa sirkumsisi merupakan tradisi atau budaya setempat.

Di antara ulama yang mengatakan bahwa sirkumsisi adalah kewajiban adalah Imam Syafi’i, salah satu ulama terkemuka yang menjadi barometer dalam bermadzhab. Beliau mengemukakan bahwa sirkumsisi adalah sebuah kewajiban yang berlaku untuk kaum laki-laki maupun perempuan. Di antara dalil yang digunakan oleh beliau adalah firman Allah SWT. yang artinya, “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), ikutilah agama (ajaran) Ibrahim seorang yang hanif…” (QS. an Nahl: 123). Sekilas ayat ini melukiskan bahwa Nabi Ibrahim AS. memang mempunyai ajaran dari Allah SWT. Dan di antara ajaran beliau adalah khitan. Sebagaimana yang diriwayatkan sahabat Abu Hurairah RA., bahwa Rasulullah ﷺ. pernah bersabda, “Nabi Ibrahim Khalilur Rahman berkhitan setelah berumur delapan puluh tahun.”


Sementara yang mengatakan sunah berpijak pada hadis Nabi yang juga diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah RA., bahwasanya Rasulullah ﷺ. bersabda, “Lima hal yang termasuk fithrah yaitu: khitan, mencukur bulu alat kelamin, mencabut bulu ketiak, memotong kuku dan memotong kumis.” [Imam al Bukhari (6297 – Fathul Bari), Imam Muslim (3/257 – Nawawi), Imam Malik dalam al Muwattha (1927), Imam Abu Daud (4198), Imam at Tirmidzi (2756), Imam an Nasa’i (1/14-15), Ibnu Majah (292), Ahmad dalam Al-Musnad (2/229) dan Al-Baihaqi (8/323)].
Kelompok yang mengatakan bahwa sirkumsisi bagi perempuan sangat merugikan berpendapat, ketika terjadi female genital mutilation (pemotongan sebagian alat kelamin perempuan), maka akan merusak alat kelaminnya. Sehingga, dari ideologi ini membuat semua pihak pakar medis merasa tidak perlu adanya sirkumsisi untuk kaum hawa. Padahal, tidaklah demikian adanya.

Dalam sebuah hadis dijelaskan, bahwa dulu Nabi ﷺ. pernah memerintahkan seorang perempuan ahli penyunatan untuk tidak ceroboh dalam menyunat. Diantaranya adalah hadis yang diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik RA., bahwasanya Nabi ﷺ. bersabda kepada kepada Ummu ‘Athiyah (wanita ahli sirkumsisi), “Apabila engkau meng- khitan seorang perempuan, maka potonglah sedikit, dan janganlah berlebihan (dalam memotong bagian yang dikhitan), karena itu lebih bisa membuat ceria wajah dan lebih menyenangkan (memberi semangat) bagi suami.” [Shahih, oleh Imam Abu Daud (5271), Imam al Hakim (3/525), Imam Ibnu Ady dalam al Kamil (3/1083) dan Imam al Khatib dalam Tarikhnya (12/291)].

Memang, dalam sirkumsisi perempuan terjadi beberapa praktek di kalangan medis. Namun, tidak perlu dijelaskan lebih mendetail di sini. Hanya saja, yang perlu digaris bawahi dalam sirkumsisi adalah, hendaknya dilakukan dengan hati-hati. Imam al Mawardi, salah satu ulama dari kalangan Syafi’i, berpendapat bahwa khitan pada perempuan yang dipotong adalah kulit yang berada di atas alat kelamin perempuan. Yang dianjurkan adalah memotong sebagian kulit tersebut, bukan menghilangkannya secara keseluruhan.

Bagi kelompok yang mengatakan bahwa sirkumsisi tidak ada manfaat yang bisa dipetik, ada baiknya terlebih dahulu menilik hikmah-hikmah yang tersirat di dalammya. Salah satu dosen UIN Sunan Kalijaga, DIY, H. Akmal Abdul Munir Lc. MA, dalam makalahnya memaparkan, bahwa ada beberapa hikmah dari sirkumsisi bagi seorang perempuan. “Sirkumsisi pada wanita yang dilakukan secara benar justru bermanfaat untuk kehidupan seksual wanita yang bersangkutan. Pertama, membuat lebih bersih dan lebih mudah menerima rangsangan. Kedua, sirkumsisi dapat membawa kesempurnaan agama, karena itu disunahkan (atas pendapat yang mengatakan bahwa sirkumsisi adalah sunnah). Ketiga, sirkumsisi adalah cara sehat yang memelihara seseorang dari berbagai penyakit. Keempat, sirkumsisi membawa kebersihan, keindahan, dan meluruskan syahwat.”

Tentang sunat bagi wanita, tidak diperselisihkan tentang disyariatkannya. Hanya saja para ulama berbeda pendapat, apakah hukumnya hanya sunnah atau sampai kepada derajat wajib. Pendapat yang kuat (rajih) adalah wajib dengan dasar bahwa ini adalah ajaran para nabi sebagaimana dalam hadits,

الْفِطْرَةُ خَمْسٌ -أَوْ خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ الْخِتَانُ، وَا سْالِْتِحْدَادُ، وَنَتْفُ الْإِبْطِ، وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ وَقَصُّ الشَّارِبِ

“Fitrah ada lima—atau lima hal termasuk fitrah—: khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, menggunting kuku, dan menggunting kumis.” (Sahih, HR. al- Bukhari dan Muslim)

Fitrah dalam hadits ini ditafsirkan oleh ulama sebagai tuntunan para nabi, tentu saja termasuk Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam, dan kita diperintah untuk mengikuti ajarannya. Allah  Subhanahu wata’ala berfirman,

ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۖ

Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), “Ikutilah agama Ibrahim, seorang yang hanif.” (an-Nahl: 123)


Bagian Manakah yang Dikhitan?

Ini adalah pembahasan yang sangat penting karena hal inilah yang menjadi sebab banyaknya kontroversi. Dari sinilah pihak-pihak yang kontra memandang sinis terhadap khitan untuk kaum wanita. Perlu diingat, jangan sampai kita membenci ajaran agama Islam dan berburuk sangka terhadapnya, lebihlebih jika kita tidak tahu secara benar tentang ajaran Islam dalam hal tersebut, termasuk masalah ini. Perlu diketahui, khitan wanita telah dikenal di berbagai negeri di Afrika, Asia, dan wilayah yang lain. Di Afrika dikenal istilah khitan firauni (khitan ala Fir’aun) yang masih berlangsung sampai sekarang. Karena sekarang banyak pelakunya dari muslimin, pihak-pihak tertentu memahami bahwa itulah ajaran Islam dalam hal khitan wanita, padahal yang melakukan khitan firauni bukan hanya muslimah. Khitan tersebut sangat sadis dan sangat bertentangan dengan ajaranajaran Islam.

Seperti apakah khitan firauni tersebut? Ada beberapa bentuk:

1 . Dipangkas kel*ntitnya (clitoridectomy).

2. Ada juga yang dipotong sebagian bibir dalam v*ginanya.

3. Ada juga yang dijahit sebagian lubang tempat keluar haidnya.

Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah khitan yang tidak syar’i, yaitu khitan firauni, khitan menurut pendapat yang lemah, dan khitan syar’i sebagaimana penjelasan ulama di atas. Oleh karena itu, tiada celah bagi siapa pun untuk mengingkari khitan yang syar’i, karena khitan yang syar’I bagi wanita sejatinya sama dengan khitan bagi pria. Tidak ada kerugian sama sekali bagi yang bersangkutan. Bahkan, wanita tersebut akan mendapatkan berbagai maslahat karena banyaknya hikmah yang terkandung. Di antaranya, dikhitan akan lebih bersih karena kotoran di sekitar kelentit akan mudah dibersihkan, persis dengan hikmah khitan pada kaum pria. Bahkan, khitan akan sangat membantu wanita dalam hubungannya dengan suaminya, karena dia akan lebih mudah terangsang dan mencapai puncak yang dia harapkan. Hikmah yang paling utama adalah kita bisa melaksanakan tuntunan para nabi dan beribadah kepada Allah  Subhanahu wa ta’ala dengan melaksanakannya.


Dalam pandangan ulama Islam dari berbagai mazhab, yang dipotong ketika wanita dikhitan adalah kulit yang menutupi kel*ntit yang berbentuk semacam huruf V yang terbalik. Dalam bahasa Arab bagian ini disebut qulfah dan dalam bahasa Inggris disebut prepuce. Bagian ini berfungsi menutupi klit*ris atau kel/ntit pada organ wanita, fungsinya persis seperti kulup pada organ pria yang juga dipotong dalam khitan pria. Khitan wanita dengan cara semacam itu mungkin bisa diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan prepucectomy. Berikut ini kami nukilkan beberapa penjelasan para ahli fikih.

• Ibnu ash-Shabbagh rahimahullah mengatakan, “Yang wajib atas seorang pria adalah dipotong kulit yang menutupi kepala kemaluan sehingga terbuka semua. Adapun wanita, dia memiliki selaput (kulit lembut yang menutupi klit*ris, -pen.) semacam jengger ayam yang terletak di bagian teratas kemaluannya dan berada di antara dua bibir kemaluannya. Itu dipotong dan pokoknya (klit*risnya) yang seperti biji kurma ditinggal (tidak dipotong).”

• Al-Mawardi rahimahullah berkata, “Khitan wanita adalah dengan memotong kulit lembut pada v*gina yang berada di atas tempat masuknya p*nis dan di atas tempat keluarnya air kencing, yang menutupi (kel*ntit) yang seperti biji kurma. Yang dipotong adalah kulit tipis yang menutupinya, bukan bijinya.”

• Dalam kitab Hasyiyah ar-Raudhul Murbi’ disebutkan, “Di atas tempat keluarnya kencing ada kulit yang lembut semacam pucuk daun, berada di antara dua bibir kemaluan, dan dua bibir tersebut meliputi seluruh kemaluan. Kulit tipis tersebut dipotong saat khitan. Itulah khitan wanita.”

• Al-‘Iraqi rahimahullah mengatakan, “Khitan adalah dipotongnya kulup yang menutupi kepala p*nis seorang pria. Pada wanita, yang dipotong adalah kulit tipis di bagian atas v*gina.” 

• Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah berkata, “Hikmah sirkumsisi bagi laki-laki adalah menyucikan mereka dari najis yang tertahan pada kulup kemaluan. Sedangkan bagi wanita adalah untuk menyederhanakan syahwatnya, sesungguhnya kalau wanita tidak disirkumsisi, maka syahwatnya akan menggejolak.” [Fatawa al Kubra, 1/273].

Dari kutipan-kutipan di atas, jelaslah kiranya seperti apa khitan yang syar’I bagi wanita. Namun, ada pendapat lain dari kalangan ulama masa kini dari sekte WAHABI, di antaranya Albani, yaitu yang dipotong adalah klit*ris itu sendiri, bukan kulit lembut yang menutupinya, kulup, atau prepuce. Tetapi, tampaknya pendapat ini lemah, dengan membandingkan dengan ucapan-ucapan ulama di atas. Namun, pemilik pendapat ini pun tidak mengharuskan semua wanita dikhitan, karena tidak setiap wanita tumbuh klit*risnya. Beliau hanya mewajibkan khitan yang demikian pada wanita-wanita yang kelentitnya tumbuh memanjang. Ini biasa terjadi di daerahdaerah yang bersuhu sangat panas, semacam Sa’id Mesir (Epper Egypt), Sudan, dan lain-lain. Banyak wanita di daerah tersebut memiliki kel*ntit yang tumbuh, bahkan sebagian mereka tumbuhnya pesat hingga sulit melakukan ‘hubungan’. (Rawai’uth Thib al-Islami, 1/109, program Syamilah)

MUI tegas menolak pihak yang melarang khitan bagi perempuan karena tidak ada ulama yang melarang,” kata Ketua Harian MUI, KH. Ma’ruf Amin, Senin (21/1/2013) lalu. “Hukum khitan bagi wanita adalah Makrumah / ibadah yang dianjurkan." Untuk itu MUI telah mengeluarkan Fatwa MUI No: 9.A tahun 2008 tentang Khitan Perempuan tertanggal 7 Mei 2008 yang berbunyi: Khitan bagi laki-laki maupun perempuan termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam. Terkait tata cara pelaksanaan khitan perempuan menurut ajaran Islam cukup dengan hanya menghilangkan selaput (jaldah/colum/praeputium) yang menutup kloris. “Ajaran agama Islam melarang praktek khitan perempuan yang dilakukan secara berlebihan, seperti memotong atau melukai klitoris yang mengakibatkan bahaya,” tegasnya


Yang aneh, orang-orang yang anti- Islam di satu sisi mendiskreditkan Islam dengan alasan khitan wanita, padahal khitan ini juga dilakukan di negeri nonmuslim, walau tidak dengan nama khitan. Bahkan, tindakan ini menjadi pengobatan atau solusi bagi wanita yang kesulitan mencapai orgasme, dan solusi ini berhasil. Pada 1958, Dr. McDonald meluncurkan sebuah makalah di majalah General Practitioner yang menyebutkan bahwa dia melakukan operasi ringan untuk melebarkan kulup wanita pada 40 orang wanita, baik dewasa maupun anak-anak, karena besarnya kulup mereka dan menempel dengan klitoris. Operasi ringan ini bertujuan agar klitoris terbuka dengan cara menyingkirkan kulup tanpa menghabiskannya. Dr. McDonald menyebutkan bahwa dirinya dibanjiri ucapan terima kasih oleh wanita-wanita dewasa tersebut setelah operasi. Sebab, menurut mereka, mereka bisa merasakan kepuasan dalam hubungan biologis pertama kali dalam kehidupannya.

Seorang dokter ahli operasi kecantikan di New York ditanya tentang cara mengurangi kulup klitoris dan apakah hal itu operasi yang aman. Dia menjawab, caranya adalah menghilangkan kulit yang menutupi klit*ris. Kulit ini terdapat di atas klitoris, menyerupai bentuk huruf V yang terbalik. Terkadang kulit ini kecil/sempit, ada pula yang panjang hingga menutupi klit*ris. Akibatnya, kepekaan pada wilayah ini berkurang sehingga mengurangi kepuasan seksual. Sesungguhnya memotong kulit ini berarti mengurangi penutup klit/ris. David Haldane pernah melakukan wawancara—yang kemudian diterbitkan di majalah Forum UK di Inggris—dengan beberapa ahli spesialis yang melakukan penelitian tentang pemotongan kulup pada v*gina. Di antara hasil wawancara tersebut sebagaimana berikut ini.

David Haldane melakukan wawancara dengan dr. Irene Anderson, yang menjadi sangat bersemangat dalam hal ini setelah mencobanya secara pribadi. Operasi ini dilakukan terhadapnya pada 1991 sebagai pengobatan atas kelemahan seksualnya. Ia mendapatkan hasil yang luar biasa sebagaimana penuturannya. Ia kemudian mempraktikkannya pada sekitar seratus orang wanita dengan kasus yang sama (kelemahan seksual). Semua menyatakan puas dengan hasilnya, kecuali tiga orang saja. (Khitanul Inats) Sungguh benar sabda Rasul ﷺ kepada para pengkhitan wanita saat itu,

إِذَا خَفَضْتِ فَأَشِمِّي وَلاَ تَنْهَكِي، فَإِنَّهُ أَسْرَى لِلْوَجْهِ وَأَحْظَى لِلزَّوْجِ

“Apabila engkau mengkhitan, potonglah sedikit saja dan jangan engkau habiskan. Hal itu lebih mencerahkan wajah dan lebih menguntungkan suami.” (HR. ath-Thabarani, dll. Lihat ash- Shahihah no. 722)

Sungguh, hadits Nabi ﷺ ini termasuk mukjizat yang nyata. Selaku seorang muslim, kita jelas meyakininya. Ringkas kata, orang-orang kafir pun mengakui kebenarannya. Selanjutnya kami merasa perlu menerangkan langkah-langkah pelaksanaan khitan wanita karena informasi tentang hal ini sangat minim di masyarakat kita, bahkan bisa dikatakan hampir tidak ada penjelasan yang mendetail. Yang ada hanya bersifatnya global, padahal informasi ini sangat urgen. Sebetulnya, rasanya tabu untuk menjelaskan di forum umum semacam ini. Namun, ini adalah syariat yang harus diketahui dengan benar, dan “Sesungguhnya Allah tidak malu dari kebenaran.” Kami menyadari bahwa kekurangan informasi dalam hal ini bisa berefek negatif yang luar biasa:

1. Anggapan yang negatif tehadap syariat Islam.

2. Bagi yang sudah menerima Islam dan ajarannya, lalu ingin mempraktikkannya, bisa jadi salah praktik (malapraktik), akhirnya sunnah ini tidak terlaksana dengan benar. Bahkan, bisa jadi terjerumus ke dalam praktik khitan firauni yang kita sebut di atas sehingga terjadilah kezaliman terhadap wanita yang bersangkutan, dan mungkin kepada orang lain.

Maka dari itu, sebelumnya kami mohon maaf. Kami hanya ingin menjelaskan langkah-langkah khitan. Jika ada kata-kata yang kurang berkenan, harap dimaklumi.


Tata Cara Pelaksanaan Khitan Wanita

1. Siapkan kejiwaan anak yang hendak dikhitan. Hilangkan rasa takut dari dirinya. Bekali orang tuanya dengan menjelaskan hukumnya dengan bahasa yang sederhana dan menyenangkan.

2. Sterilkan alat-alat dan sterilkan pula daerah yang hendak dikhitan.

3 . Gerakkan atau tarik qulfah (prepuce) ke belakang hingga terpisah atau tidak lekat lagi dengan ujung klit*ris, hingga tampak pangkal atas prepuce yang bersambung dengan klit*ris. Hal ini akan mempermudah pemotongan kulit bagian luar sekaligus bagian dalam prepuce tersebut tanpa melukai sedikit pun klit*risnya sehingga prepuce tidak tumbuh kembali. Apabila prepuce dan klit*ris sulit dipisahkan, hendaknya khitan ditunda sampai hal itu mudah dilakukan.

4. Lakukan bius lokal pada lokasi— meski dalam hal ini ada perbedaan pendapat ulama—dan tunggu sampai bius itu benar-benar bekerja.

5. Qulfah ( prepuce) ditarik ke atas dari ujungnya menggunakan jepit bedah untuk dijauhkan dari klit*ris. Perlu diperhatikan, penarikan tersebut diusahakan mencakup kulit luar dan kulit dalam prepuce, lalu dicapit dengan jepit arterial. Perlu diperhatikan juga, jangan sampai klit*ris ikut tercapit. Setelah itu, potong kulit yang berada di atas pencapit dengan gunting bengkok, lalu biarkan tetap dicapit sekitar 5—10 menit untuk menghindari pendarahan, baru setelah itu dilepas. Jika terjadi pendarahan setelah itu, bisa dicapit lagi, atau bisa dijahit dengan senar 0/2 dengan syarat tidak bertemu dan menempel lagi antara dua sisi prepuce yang telah terpotong. Tutuplah luka dengan kasa steril dan diperban. Perban bisa dibuang setelah empat jam. Apabila terjadi pendarahan di rumah, tahan lagi dengan kapas dan konsultasikan ke dokter. Hari – hari berikutnya , jaga kebersihannya dengan air garam atau semacamnya. Sangat perlu diperhatikan, jangan sampai dua sisi prepuce yang telah terpotong bertemu lagi atau menyambung, atau bersambung dan menempel dengan klitoris. Semoga bermanfaat

Walhasil, masalah sirkumsisi/ khitan bagi perempuan itu bukanlah sebuah tradisi, melainkan memang benar-benar anjuran dari agama dan bisa dipertanggungjawabkan tentang keberadaan dalilnya. Salah besar apa yang dikampanyekan WHO (World Health Organization) atau organisasi kesehatan dunia bahwa sunat perempuan dapat berdampak buruk bagi kesehatan. Seperti paparan di atas, di dalam praktek sunat itu terkandung manfaat yang besar, bukan malah berdampak buruk. Harus kita yakini bahwa ulama dahulu dalam mem-fatwakan sebuah hukum, tentu melalui tinjauan dan pertimbangan yang matang terlebih dahulu. Tidak hanya sekilas memahami, lantas mem-fatwakan.
Wallohu Ta'ala A’lam.




thumbnail
Judul: Wajib, Makrumah, Atau Sunnah Hukum Khitan Perempuan?
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh

Artikel Terkait Hikmah dan Renungan :

0 komentar:

Post a Comment

 
Copyright © 2013. About - Sitemap - Contact - Privacy
Template Seo Elite oleh Al Fikr Publisher FreTempl